Tuesday, August 2, 2011

ada apa dengan UU ITE?

Undang-undang ITE, siapa yang belum pernah membacanya?

Kenapa tidak dibaca? Bukankan ini mengatur hajat hidup orang banyak yang kini mulai tak terpisahkan dari dunia maya. Sebenarnya belum sepenuhnya, tetapi setidaknya kita tengah bergerak ke sana, masyarakat digital sudah terbentuk.

Berbagai padanan dan gambaran tentang kehidupan maya dengan nyata sudah mulai banyak digunakan dalam keseharian, generasi sudah mulai memperbarui sistem lama ke dalam sistem baru yang lebih ‘ngirit’ dalam banyak faktor, pekerjaan, penghasilan, waktu, tenaga, biaya dan lain sebagainya. Hampir semua yang kompleks dalam dunia realitas, kini menjadi ringkas dalam dunia digital.

Kemudian, untuk merespon dan berusaha mengatur kehidupan di dunia maya, pemerintah pun melakukan serangkaian tindakan. Termasuk di dalamnya untuk mencegah kejahatan di dunia maya. Lalu pikiran pertama yang sering mencuat adalah: “apakah mampu kita mengatur kehidupan dunia cyber?”

Perkembangan kajian tentang cyberlaw di Indonesia dan perkembangan kemampuan alat hukumnya selama ini tidak ada yang signifikan, untuk capable menangani kejahatan cyber yang semakin mewabah di negeri ini.

Tujuan dari pembentukan sebuah Undang-undang semestinya terarah dan pasti, baik dalam muatan definitif tentang semua yang terpaut di dalamnya, maupun muatan hukum secara umum di dalamnya. Sebagai sebuah senjata dalam menegakkan hukum, UU ini semestinya memberikan rasa aman dan tenteram, dengan kata lain tidak mengusik ketertiban umum yang diupayakan.

Jika pada akhirnya, karena definisi dan penjelasan yang tidak terarah secara tepat, hal tersebut menjadikan UU ini menyemburkan peluru secara membabi buta. Itulah padanan yang mesti disoroti untuk kata ‘fokus’ dan ‘terarah’.

Politik hukum yang dimuatnya pun mesti transparan, berkaca kepada bagaimana negara yang lebih maju dalam sistem, semestinya tiap rumusan pasal-pasalnya memiliki dokumen yang tercatat secara baku, dan bukan hanya berupa UU proyek, kejar setoran, istilah yang sudah digunakan secara lazim oleh segenap masyarakat untuk menilai banyaknya UU yang bermunculan setiap akan ganti masa pemerintahan. Yang jelas, membuat Undang-undang boleh saja, asalkan rumusan benar dan tidak berbenturan dengan UU yang sudah ada sebelumnya.

Lalu bagaimana sebenarnya perjalanan UU ITE ini berlanjut?

Pasal-pasal yang ‘mempan’ seringkali melulu pasal pencemaran nama baik yang batasannya sendiri masih kurang jelas. (rupanya budaya pemimpin negeri adalah melemparkan isu dan kata-kata tanpa tanggungjawab). Mereka terbiasa menyebar isu tentang akan diregulasinya sesuatu, jika mereka mengerti bahwa ini sensitif, maka ada istilah uji publik, tetapi isinya masih belum selesai. Pembentuk Undang-undang dan pemerintah lebih suka membuat masyarakat resah terlebih dahulu. Kemudian apakah akan berjalan atau tidak, tergantung bargaining politiknya, karena memang politik tidak bisa berjalan tanpa uang. Maka ada lagi rapat-rapat, keputusan akhirnya, tergantung uang terbanyak bergulir ke mana…

Ada kabar, kini di BPHN tengah dirumuskan Rancangan Undang-undang cyber crime kita yang baru, yang diperkirakan akan lebih compatible. Mungkin UU ITE kemudian dipandang sebagai UUD-nya cyber law lain yang akan muncul belakangan. Dan tentunya, dengan banyak kejanggalan dalam efektifitasnya, UU ITE masih butuh banyak revisi.

UU ITE seperti vista yang terlalu berat diterapkan (karena bingung, loadingnya pasti juga lambat untuk meresponnya, terutama para penegak hukum). Tetapi untuk menjadi lebih aware terhadap kejahatan dunia cyber, kita mesti mempersiapkan kekuatan tenaga hukum sebaik mungkin.

Saya ingat, pernah nonton tayangan berita tentang latihan penjinakan bom oleh tim gegana mabes polri, ceritanya mereka mendapat bantuan peralatan bagus dan baru dari luar negeri (jelas karena selalu mem-blow up berita tentang akan adanya bom di sana-sini, dan dengan dalih tidak mampu menghadapi terorisme kekurangan alat dan dana dalam menanggulangi), maka bantuan untuk memberantas terorisme di negeri ini pun diuji dan dicoba. Ada alat yang berfungsi sebagai penerawang adanya konten bomb dalam kemasan atau benda yang dicurigai, dengan  konsep: satu sisi blok adalah pemancar x-ray dan satu sisi blok lainnya adalah penerima informasi pemidaian tadi, yang semestinya direcord dalam selembar negatif film. Alhasil, penggunaan alat telah selesai tetapi saat semua ingin menyaksikan record dalam negatif film yang dimaksud, semuanya mesti menelan kekecewaan masing-masing. Karena ternyata negatif filmnya lupa dipasang (ada-ada aja).

Jangankan dengan respon kejahatan yang sedemikian bisa terlihat (bom memang bukan hal sederhana, selain mematikan juga rumit, tetap saja real), bagaimana kalau menghadapi kejahatan yang mayantara, tidak terbatas waktu dan ruang. Jika kemampuan dan tingkat pendidikan kepolisian, sebagai garda depan penegakan hukum, tidak segera ditingkatkan, maka sangat dapat diragukan kehandalannya untuk menghadapi kejahatan cyber yang bentuknya terus berkembang dan bahkan berkembang seiring perkembangan waktu. Bisa dikatakan ini adalah bentuk perkembangan kejahatan yang massive dan belum ada fenomena yang melebihi kecepatan internet dalam memicu munculnya kejahatan.

Bukan soal pendidikan mereka setingkat sekolah menengah ataukah setingkat sarjana, atau lebih tinggi lagi. Yang jelas adalah pendidikan dan kemampuan dalam mencegah, menangkap, dan mengumpulkan bukti kejahatan cyber. Toh musuh mereka (pelaku kejahatan cyber) tidak melulu berpendidikan tinggi, karena kenyataannya kita bisa belajar bertindak jahat dari buku-buku digital yang tersebar bebas di internet, dan juga maraknya buku-buku hacking di toko buku.

Beberapa saat lalu saya sempat berdiskusi dengan seorang mantan team IBM Indonesia. Saat dulu masih berada dalam satu kesatuan bersama AD, AU, dan AL, kekuatan Kepolisian untuk menghadapi kondisi sekarang ini mungkin masih bisa tertangani lebih efektif. Tetapi kenyataannya jika dibandingkan dahulu, sepertinya kelengkapan dan kemampuan Kepolisian dalam menangani kejahatan telematika kian surut.

Dari pengalaman beliau selama di IPTN (sebelum di IBM), pelatihan yang diadakan IPTN tentang kemampuan teknis tentang IT yang diikuti jajaran dari berbagai angkatan, dari AU dan AL lah yang memiliki tanggap teknologi lebih baik daripada yang lain. Karena memang mereka dididik lebih jauh tentang IT, maklum peluru kendali dan pesawat-pesawat tempur bukanlah hal baru dalam pemahaman mereka tentang teknologi. Pendidikan khusus ini yang semestinya juga ditumbuhkembangkan di jajaran Kepolisian kita. Pengetahuan untuk tanggap terhadap penanggulangan kejahatan ITE.

Maka secara singkat, para pelaku kejahatan dunia maya akan tetep adem-adem saja selama mereka tidak efektif dan efisien dalam dunia maya.

Yang kita lihat saat ini adalah betapa lemahnya sistem hukum cyber kita, dari alat hukumnya (polisi, jaksa, pengadilan) untuk menangani kejahatan yang sudah dan tengah berjalan. Jadi jika perangkat hukum yang ada masih lemah, untuk apa buat undang-undang baru, lah yang UU ITE saja masih belepotan.

Politik hukum semestinya bukan hukum yang dipolitisir untuk kepentingan sepihak atau sesaat. Lantas apa gunanya pertemuan-pertemuan pembentukan UU kalau hasilnya tidak ada […]. Dan seluruh masyarakatpun akan segera menghela nafas panjang dahulu, jika ada UU cyber crime yang baru, dan pikiran pertama adalah: “sanggup apa tidak menjalankannya?”

Saya sedang memikirkan: Bagaimana jika di masa upgrading dan transisi (menuju kesiapan hukum era digital) ini kita memanfaatkan tenaga para white hat hacker baik tersertifikasi atau tidak, untuk secara integral ada dalam lembaga kepolisian? Kemudian diberikan layanan 911 cyber untuk siapa saja yang mengalami tindak kejahatan (menjadi korban atau menyaksikan terjadinya tindak kejahatan).

Harapan apa pun tidak akan pernah akan terjawab jika tidak ada goodwill dari pemerintah untuk membawa negara ini ke dalam ketertiban. Kita akan khawatir kemudian jika peringkat negara terkorup akan menurun pada predikat negara terlemah dalam menanggulangi kejahatan cyber. Maka tidak ada kata lain bagi mereka yang ada di luar sana: “kenapa tidak kita serang saja Indonesia? Perlindungan mereka lemah.” Atau sekali lagi jadi tong sampah tindak kejahatan cyber, sebagaimana yang sudah melekat, tong sampah kejahatan hak cipta.

Apa pun upaya penegakan hukum, kita harus mendukungnya. Selama itu tidak mengganggu hak-hak dasar kita sebagai manusia utuh dan warga negara Indonesia secara khusus.

UBI SOCIETAS, IBI IUS.

No comments:

Hukum Penalaran dan Ilmu Hukum

  Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut ultricies efficitur nunc id accumsan. Aliquam quis facilisis felis. Integer...