Wednesday, July 20, 2011

Opini Publik Habermas

[+] Konsep Opini Publik Habermas

[+] Klarifikasi Sosiologis Opini publik a la Habermas

[+] Peran Opini Publik dalam negara Demokratis

[+] Fungsi Kritis Opini Publik terhadap sistem sosial: Konsep menuju Praxis

[+] Peran Opini publik dalam pembentukan hukum

Referensi:

  • RP = Ruang Publik. Jurgen Habermas, Ruang Publik, Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2010. Judul asli: The Structural Transformation of Public Sphere (terjemahan Thomas McCarthy ke dalam bahasa Inggris)
  • TTK 1 = Teori Tindakan Komunikatif (buku satu): Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat. Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif (buku satu): Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2009. Judul asli: Theorie des Kommunikativen Handeln, Band I: Handlungsrationalitat und gesellschaftliche Rationalisierung.
  • TTK 2 = Teori Tindakan Komunikatif (buku dua): Kritik atas Rasio Fungsionalis. Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif (buku dua): Kritik atas Rasio Fungsionalis, Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2007. Judul asli: Theorie des Kommunikativen Handeln, Band II: Zur kritik der funktionalistischen Vernunft.
  • MMK = Menuju Masyarakat Komunikatif. F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Kanisius: Yogyakarta, 2009.
  • DD = Demokrasi Deliberatif. F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Kanisius: Yogyakarta, 2009.

Konsep Opini Publik: Jurgen Habermas

Pembahasan tentang ‘Konsep Ruang Publik’ ini dibahas secara khusus di dalam satu bab terakhir dari Ruang Publik (RP), “Bab VII: Perihal Konsep Ruang Publik”. Habermas dalam pembukaan bab ini langsung mendistingsikan pembahasan dengan fokus pada peran “Opini Publik sebagai Fiksi Hukum Konstitusional –dan Likuidasi Sosial-Psikologis Konsep Opini Publik”. Pembahasan yang memperlihatkan sisi kritis sosial dan sekaligus upayanya untuk menunjukkan bahwa konsep kritis sosial semestinya dibawa menuju ke dalam bentuk praxis. Dan menurut Habermas, adalah hukum.

Sepanjang kajiannya tentang kategori masyarakat borjuis dalam bukunya ‘Ruang Publik’ tersebut, Habermas berusaha menjelaskan konstinuitas semangat pencerahan selepas Revolusi Perancis dalam konsistensinya tentang kajian masyarakat modern. Dan yang terlihat jelas adalah bagaimana ia menceritakan tentang proses pembauran kelas borjuis dengan warga terdidik yang memiliki sikap kritis terhadap kerajaan (Inggris) melalui kafe-kafe atau salon-salon. Melalui para kritikus sosial dengan latar belakang pendidikan yang baik inilah mereka yang proletar mendapatkan pembelaan haknya untuk bersuara melalui para terdidik ini, yang oleh Habermas lebih didefinisikan sebagai kelas menengah terdidik.

Habermas membedakan publisitas berkaitan dengan opini publik, atau dengan kata lain ‘publisitas manipulatif’ dengan ‘publisitas kritis’. Ia menjelaskan bahwa masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri di dalam konfigurasi sosial, walaupun konsekuensi fungsionalnya bersilangan satu sama lain. Kendati demikian, keduanya mengharapkan publik untuk bertindak dengan cara yang berbeda satu sama lain. Dengan menggunakan distingsi seperti telah diuraikan sebelumnya, bisa dikatakan bahwa salah satunya berpijak pada premis opini publik, sementrara yang lain pada premis nonpublik [RP; 328].

Meskipun di dalam kerangka hukum konstitusional dan ilmu politik, analisis mengenai norma-norma konstitusional yang berkenaan dangan realitas konstitusional mayoritas negara demokratis yang menjalankan hak-hak sosial secara terpaksa. Akan tetapi bagi sebagian negara-kesejahteraan sosial yang demokratis masih membutuhkan opini publik secara menyeluruh dengan pertimbangan, karena opini publik masih merupakan satu-satunya basis yang bisa diterima bagi legitimasi dominasi politis. Opini publik secara menyeluruh kemudian menjadi kebutuhan sebuah negara demokrasi modern untuk menerapkan konstitusi yang mengikat secara menyeluruh. Karena tanpa adanya kesadaran akan peran substitutif dari opini publik dan bergantung kepada suasana hati (mood) yang tidak tentu, maka jelaslah demokrasi modern akan kehilangan substansi kebenarannya [RP; 328-329].

Habermas memberikan gambaran situasi saat keadaan ruang publik yang ambruk dan kepercayaan naif terhadap ide nasionalisasi kekuasaan tidak dapat terlepas dari fakta itu. Maka Habermas menjelaskan bahwa, pada saat itulah jalan menuju pendefinisian konsep opini publik jadi terbentang jelas. Yang dijelaskan dalam dua jalan pendefinisian:

Jalan pertama, membawa kepada posisi liberalisme, yang di tengah-tengah ruang publik yang terpecah belah, ingin menyelamatkan komunikasi internal lingkaran para wakil rakyat yang mengkonstitusikan sebuah publik dan membentuk opini, yaitu kepada publik yang berdebat kritis di tengah-tengah publik yang hanya memberikan persetujuan. Di dalam proses ini kualifikasi yang dulunya milik masyarakat privat di ruang perniagaan dan kerja sosial sebagai kriteria sosial bagi keanggotaan di dalam publik, telah berubah menjadi kualitas perwakilan yang hirarkis dan otonom sehingga basis lama publisitas tidak lagi terpahami [RP: 330]. Habermas hendak menjelaskan, bahwa saat ada kekacauan opini di dalam publik, yang tidak lagi berbentuk opini-opini besar yang berdebat di ruang keterwakilan tidak lagi mudah dipahami dengan pengamatan. Kemudian dengan cara mengembalikan perdebatan itu kepada masyarakat dan memberikan kesempatan bagi opini publik untuk berjuang lebih keras dalam memulihkan kesadaran komunikatif. Sehingga hasil pasca-liberalisasi ini akan menjadi penyelamatan tindakan komunikasi dalam lingkaran wakil rakyat.

Akan tetapi liberalisasi ini tidak dapat mengembalikan keadaan atau pola publisitas sebagaimana bentuk awalnya dalam ruang publik. Karena liberalisasi ini pastilah akan mengambil langkahnya yang lebih efektif, yaitu untuk memperoleh otoritas kepatuhan lewat pandangan yang diadopsi hanya dari mereka yang “relatif cukup informatif, cerdas dan bermoral” [kutipan dari W.Hennis oleh Habermas]. Dan Habermas juga melihat indikasi tidak dapat dikajinya keterwakilan yang semacam ini pada kondisi-kondisi yang ada sekarang.

Selanjutnya jalan kedua. Jalan kedua mengarahkan kita kepada konsep opini publik yang mencabut kriteria material seperti rasionalitas dan perwakilan penuh dari pertimbangan yang matang dan membatasinya hanya kepada kriteria institusional saja. Opini publik semacam ini bisa eksis menjadi ‘publik’ hanya ketika diproses melalui partai. Habermas sependapat bahwa opini publik memang berkuasa tetapi tidak memerintah dan parlemen sebagai corongnya tidak secara tepat menjadi corongnya karena aktor-aktor yang bertikai adalah selalu partai, baik partai pemerintah maupun oposisi. Partai yang merangkul mayoritas dianggap mewakili opini publik [RP: 331]. Habermas menyimpulkan dari dua model tersebut, semakin organisasi independen dari pemobilisasian dan pengintegrasian opini masyarakat, semakin jauh dia dari peran politis dalam pembentukan konsensus opini publik dalam ruang demokrasi.

Dengan demikian, sebagai fiksi hukum konstitusional, opini publik tidak lagi diidentikkan dengan tingkah laku aktual publik. Namun begitu, kendati opini dilekatkan kepada lembaga-lembaga politik pun (yang diabstraksikan bersama-sama dengan tingkah laku publik) tidak juga menghilangkan karakter fiktifnya. Penelitian sosial empiris akan menemui jalan buntunya kaum positivis ketika hendak menyusun definisi ‘opini publik’ yang tepat. Mengapa? Karena penelitian tersebut akan mengabstraksikan definisi ‘opini publik’ dari aspek-aspek institusionalnya, padahal tindakan yang demikian akan segera melikuidasi karakter sosio-psikologisnya [RP: 332]. Optimisme Habermas dalam upayanya membawa modernisme dan semangat pencerahan pasca-revolusi perancis, salah satunya dengan mengembangkan kerangka kritisnya yang berkembang dari Kant, Hegel, Marx, dan Freud sebagai basis pemikiran kritis Frankfurtnya. Yang kemudian ia pertemukan dengan pemikiran-pemikiran politik serta sosial terkini terutama dalam membahas secara khusus mengenai opini publik.

Mula-mula ‘publik’, memang subjek opini publik, dipersamakan dengan ‘massa’, lalu dengan ‘kelompok’, kemudian sebagai substratum sosial-psikologis bagi proses komunikasi dan interaksi antara dua individu atau lebih. ‘kelompok’ diabstraksikan dari serangkaian kondisi sosial dan historis, serta alat-alat institusional, dan tentunya dari jaringan-jaringan fungsi sosial yang dulu pernah jadi penentu strata masyarakat privat yang bergabung membentuk publik yang berdebat kritis di wilayah politis [RP: 334].

Opini bukan hanya mencakup kebiasaan yang terekspresikan di dalam konsep-konsep tertentu –misalnya opini yang berbentuk agama, kebiasaan, adat istiadat, atau hanya sekadar ‘prasangka’, yang untuk menentang hal-hal inilah, opini publik dimunculkan sebagai standar kritik abad ke-18—namun juga segala mode tingkah laku [RP: 334].

Sementara itu, Lazarsfeld sudah menegaskan bahwa terlalu tinggi harga yang harus dibayar bagi konsep sosio-psikologis opini publik apabila semua elemen sosiologis dan kesipilannya (politological) yang esensial harus dihilangkan. Namun tahapan yang lebih signifikan menuju sintesis antara konsep opini publik klasik dengan representasi sosial-psikologisnya hanya bisa tercapai dengan menyorot lagi soal relasi penuh-paksaan dengan lembaga-lembaga politik berkuasa [RP: 335].

Sama seperti konsep opini publik yang berorientasi pada lembaga pemegang kekuasaan politis yang tidak pernah sampai menyentuh dimensi proses komunikasi informal, demikian pula konsep opini publik yang basis sosiopsikologisnya telah direduksi menjadi hubungan-kelompok tidak akan lagi berkaitan dengan dimensi tersebut, walaupun dulu pernah menjadi kategori untuk mengembangkan fungsi strateginya. Pereduksian ini terus bertahan sampai sekarang, membuat kehidupan yang terasingkan (recluse) tidak lagi dianggap serius bagi para sosiolog: persisnya dia telah berlaku sebagai fiksi hukum konstitusional [RP: 336].

Dengan demikian hubungannya dengan kekuasaan hanyalah tambahan bagi latar belakangnya saja. Keinginan-keinginan ‘privat’ untuk memiliki mobil dan pendingin ruangan, misalnya, dimasukkan ke bawah kategori ‘opini publik’ karena banyak berkaitan dengan tingkah laku kelompok tertentu, seolah-olah keinginan ini relevan dengan fungsi pemerintahan dan administratif negara-kesejahteraan sosial [RP: 337].

Klarifikasi Sosiologis Opini publik a la Habermas

Bahan-bahan material penelitian opini –yaitu semua jenis opini yang digunakan oleh segala jenis kelompok populasi—belum dapat dikukuhkan sebagai opini publik lantaran masih menjadi objek pertimbangan, putusan dan tindakan-tindakan politis [RP: 337].

Kriteria untuk mengukur opini secara empiris menurut tingkat kepublikannya dikembangkan berdasarkan evolusi negara dan masyarakat sendiri. Sesungguhnya, spesifikasi empiris opini publik semacam itu dewasa ini telah menjadi pengertian yang paling terpercaya untuk memperoleh pertanyaan yang valid dan adil mengenai tingkatan integrasi demokratis yang menjadi ciri realitas konstitusional [RP: 338].

Opini-opini informal berbeda dalam tingkatan-tingkatan kewajiban mereka. Pada tingkatan pertama, semakin rendah tataran wilayah komunikasi direpresentasikan oleh verbalisasi hal-hal yang secara kultural diterima begitu saja (taken for granted) tanpa didiskusikan, semakin tinggi perlawanan yang dihasilkan oleh proses akulturasi tersebut, yang biasa tidak dikontrol bahkan oleh refleksi individu itu sendiri –seperti contoh, tingkah laku terhadap hukuman mati atau moralitas seksual. Pada tingkatan kedua, pengalaman-pengalaman biografis mendasar yang jarang didiskusikan mulai diverbalisasikan, sehingga akibat-akibat tak tertahankan dari kejutan sosialisasi sekali lagi menjadi subreflektif –seperti contohnya, sikap-sikap terhadap perang dan damai atau hasrat-hasrat tertentu akan rasa aman. Dan akhirnya, pada tataran ketiga, kita menemukan bahwa hal-hal yang sering didiskusikan muncul sebagai sesuatu yang jelas dengan sendirinya bagi industri budaya, yang hasilnya adalah serbuan pemberitaan dan manipulasi propaganda tanpa henti oleh media terhadap konsumen, dan yang jadi target utamanya adalah waktu luang mereka [RP: 338-339].

Untuk melawan sekaligus mengatasi wilayah komunikatif opini nonpublik ini, terciptalah ruang sirkulasi opini kuasi-publik. Opini-opini formal di ruang ini dilahirkan oleh institusi-institusi spesifik, yang resmi atau semi-resmi dipatuhi sebagai pengumuman, proklamasi, deklarasi dan pernyataan [RP: 341].

Kendati opini-opini kuasi-resmi ini bisa ditunjukkan kepada publik luas, tetap saja mereka tidak memenuhi persyaratan proses publik bagi perdebatan rasional kritis menurut model liberal. Karena sahih secara institusional, opini kuasi-resmi selalu diistimewakan sehingga sama sekali tidak berimbang dengan masa ‘publik- tak-terorganisasi [RP: 341].

Kita juga dapat melihat bahwa wahana pewartaan ini, bila dikelola dengan baik, bisa memengaruhi opini-opini formal yang ada –namun sebagai sesuatu yang ‘termanifestasikan secara publik’, publisitas yang ini harus dibedakan dari opini ‘kuasi-publik’ [RP: 341].

Lantaran terperangkan di dalam pusaran publisitas yang dipanggungkan bagi tontonan atau manipulasi, maka klaim yang dilontarkan publik masyarakat privat tak-terorganisasi sesungguhnya dibentuk bukan melalui komunikasi publik melainkan lewat komunikasi opini-opini yang termanifestasikan secara publik [RP: 342].

Akan tetapi, opini baru bisa menjadi publik dalam maknanya yang ketat apabila dilahirkan di suatu tataran di mana dua wilayah komunikasi di atas dijembatani oleh pihak ketiga, yaitu publisitas kritis [RP: 342].

Bagi teori sosiologi mengenai opini publik, kecenderungan tersebut amat penting karena menyediakan kriteria bagi sebuah dimensi yang sanggup mengonstruksikan opini publik di bawah kondisi-kondisi negara demokratis raksasa yang menjalankan hak-hak sosial [RP: 342].

Derajat bagi sebuah opini boleh disebut sebagai publik juga bisa diukur lewat standar berikut: seberapa besar dia muncul dari ruang publik intraorganisasional yang dibentuk oleh publik anggota-anggota organisasi dan seberapa banyak rung publik intraorganisasional berkomunikasi dengan ruang publik eksternal yang terbentuk lewat pertukaran pewartaan, yaitu via media massa, antara organisasi kemasyarakatan dan institusi-institusi negara [RP: 343].

C.W. Mills mendefinisikan opini publik: “Di dalam sebuah publik, seperti yang kita pahami dengan istilah ini, (1) ‘opini publik’ adalah opini yang banyak diungkapkan oleh masyarakat sekaligus yang banyak diterima oleh masyarakat sendiri. (2) Komunikasi publik begitu tertata, sampai-sampai jawaban-balik terhadap opini apa pun yang diungkapkan di dalam publik bisa dilakukan dengan cepat dan efektif. Opini yang dibentuk oleh diskusi semacam itu (3) sudah memiliki landasannya di dalam tindakan efektif, yang bila diperlukan dapat menentang sistem otoritas yang ada. Dan akhirnya, (4) institusi-institusi otoritatif tidak menginfiltrasi publik, sehingga publik kurang lebih menjadi otonom dalam mengoperasikan opini mereka [RP: 343].

Empat kriteria komunikasi massa ini baru terpenuhi ketika wilayah informal kemunikasi dikaitkan dengan wilayah formalnya melalui saluran-saluran publisitas yang dipentaskan demi tujuan manipulasi atau tontonan semata. Kalau begitu, dengan “penyebaran budaya industri yang tak terelakkan” ini, opini nonpublik diintegrasikan lewat opini yang “termanifestasikan secara publik” menjadi sistem seperti yang kita miliki sekarang. Di dalam sistem yang seperti ini, opini nonpublik tidak memiliki otonomi apa pun [RP: 344].

Karena seperti di dalam kasus perubahan struktural ruang publik borjuis, kita dapat mengkaji pada tataran mana dan bagaimana cara ruang publik memperoleh fungsi yang tepat untuk menentukan apakah implementasi dominasi dan kekuasaan muncul sebagai konstanta yang negatif dari sejarah, ataukah sebagai kategori historis itu sendiri: ini semua tetap terbuka bagi perubahan substantif [RP: 345].

Peran Opini Publik dalam negara Demokratis

Demokrasi dan kekuatannya dalam menentukan keputusan politis bagi pusat kekuasaan masih tetap terikat oleh adanya diskursus praktis yang dapat menjadi legitimasi publik terhadap kebijakan penguasa.

Untuk mewujudkan himbauan teori klasik tentang demokrasi itu, Habermas mencoba menghubungkan pendiriannya dengan keadaan-keadaan empiris masyarakat-masyarakat dewasa ini. Struktur-struktur komunikasi yang terkandung di dalam konstitusi negara hukum demokratis dimengerti oleh Habermas sebagai sebuah proyek yang belum selesai namun dapat diwujudkan. Akan tetapi agar keadaan-keadaan empiris masyarakat-masyarakat kompleks itu dapat didekatkan pada tujuan proyek itu haruslah ada sebuah model yang sesuai untuk demokrasi, sebuah model yang secara sosiologis dapat menjelaskan dinamika komunikasi politis di dalam negara hukum demokratis yang ada. Model yang sesuai dengan konsep proseduralistis tentang negara hukum itu adalah model demokrasi deliberatif (deliberative Demokratie). Model deliberatif ini menekankan pentingnya prosedur komunikasi untuk meraih legitimasi hukum di dalam sebuah proses pertukaran yang dinamis antara sistem politik dan ruang publik yang dimobilisasi secara kultural. Dalam model demokrasi deliberatif ini Habermas mencoba untuk menghubungkan tesis hukumnya, yakni tesis tentang fungsi hukum sebagai medium integrasi sosial, dengan sebuah teori sosiologis tentang demokrasi. Hasilnya menarik: konsep-konsep dasarnya seperti konsep tindakan komunikatif, Lebenswelt (dunia-kehidupan) dan diskursus praktis sekarang beroperasi di dalam kerangka sebuah teori demokrasi [DD: 126-127].

Sebagai konsep dalam teori diskursus, istilah ‘demokrasi deliberatif’ sudah tersirat di dalam apa yang telah kita bicarakan di atas sebagai diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politis (politische Meinungs-und Willenbildung), proseduralisme atau kedaulatan rakyat terhadap prosedur (Volksouveränität als Verfahren). Akan tetapi kali ini kita mengarahkan pandangan kita tidak lagi pada ide negara hukum, melainkan lebih pada proses legitimasi itu sendiri. Teori demokrasi deliberatif tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh warganegara, melainkan pada prosedur untuk menghasilkan peraturan-peraturan itu [DD: 128].

Dengan kata lain model demokrasi deliberatif meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. Pada hemat saya model ini dapat secara memadai menjelaskan arti kontrol demokratis melalui opini publik. Opini-opini publik bisa jadi merupakan opini-opini mayoritas yang mengklaim legitimasi mereka. Opini-opini itu juga dapat memiliki suatu bentuk yang logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal dan rasional. Akan tetapi opini-opini mayoritas tidak niscaya secara identik dengan opini-opini yang benar. Bagi model demokrasi deliberatif adalah jauh lebih penting memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warganegara dapat mematuhi opini-opini itu [DD: 129].

Peran Opini publik dalam pembentukan hukum

Ada beberapa aspek yang menajamkan pendirian politik deliberatif Habermas:

Pertama, seperti pemulis-penulis lainnya, Habermas juga mementingkan aturan-aturan main demokratis, jaminan hak-hak kebebasan, adanya partai-partai yang berkompetisi, pemilihan umum yang fair, asas mayoritas, debat publik dst. Menurutnya bila demokrasi deliberatif juga menekankan pentingnya dan arti normatif prosedur demokratis, ia tidak boleh merasa cukup dengan aturan-aturan empiris seperti itu. Hal ini berarti bahwa kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan konsensus intersubjektif di antara para warganegara selalu saja tetap bersifat kontrafaktual di harapan jalannya komunikasi faktual. Akibatnya sebuah tatanan kekuasaan tidak dapat dilegitimasikan atas dasar berjalannya komunikasi faktual [DD: 130-131].

Kedua, seperti para penulis lain, Habermas mencoba mengembangkan sebuah model demokrasi yang peka terhadap konteks, sebuah model yang memperhitungkan perubahan-perubahan yang telah terjadi di dalam masyarakat-masyarakat kompleks yang terglobalisasi dewasa ini. Habermas justru berupaya untuk menunjukkan bahwa demokratisasi tidak dapat ditanamkan dari luar ke dalam masyarakat-masyarakat kompleks. Demokratisasi berkembang dari dalam masyarakat-masyarakat itu sendiri dan didorong oleh sistem politik yang sudah ada di sana. Ia yakin bahwa rasio komunikatif yang menggerakkan proses-proses demokrasi sudah tersedia di dalam praktik-praktik negara hukum dan institusi-institusi ruang publik yang telah ada. Menurut pendapat saya hal yang sangat penting bagi model demokrasi deliberatif adalah bagaimana potensi-potensi rasionalisasi praktik-praktik negara hukum modern dapat diaktualisasikan [DD: 131].

Ketiga, seperti model-model deliberatif lain, model Habermas juga beroperasi dengan ciri-ciri ideal deliberasi, seperti pentingnya bentuk argumentasi, inklusivitas para peserta, kebebasan dari paksaan, pencapaian konsensus dst. Model Habermas menekankan apa yang disebut “proses deliberasi politik jalur ganda” yang di dalamnya terjadi pembagian kerja antara sistem politik dan ruang publik [DD: 132].

Fungsi Kritis Opini Publik terhadap sistem sosial: Konsep menuju Praxis

Dalam kesimpulan sementaranya: “Tindakan Sosial, Tindakan-Bertujuan, dan Komunikasi” dalam TTK 1 [hal. 335], Habermas ingin menjawab pertanyaan Weber dalam kajian sosiologi agama yang memunculkan pertanyaan empiris yang cukup panjang. “Mengapa diferensiasi tiga kompleks rasionalitas setelah terjadinya disintegrasi pandangan dunia tradisional belum juga menubuh dalam bentuk institusi dalam tatanan kehidupan masyarakat modern, mengapa ketiganya tidak menentukan praktik komunikatif dalam kehidupan sehari-hari pada tingkat yang sama” [TTK1: 335] (tetapi, Habermas tidak meletakkan tanda tanya di akhir kalimat).

Namun, melalui asumsi tindakan-teoretis dasar ini, Weber mencurigai pertanyaan ini sedemikian rupa sehingga proses rasionalisasi masyarakat hanya dapat dilihat dari sudut pandang rasionalitas bertujuan. Oleh karena itulah saya ingin mendiskusikan kendala-kendala konseptual dalam teori tindakan dan menggunakan kritik ini sebagai pijakan awal untuk analisis lebih lanjut atas konsep tindakan komunikatif [TTK1: 335].

Karena Weber berangkat dari model tindakan yang dikonsepsikan secara monologis, maka konsep “tindakan sosial” tidak dapat diperkenalkan dengan cara menjelaskan konsep makna. Oleh karena itu dia harus memperluas model tindakan bertujuan dengan dua spesifikasi sehingga syarat bagi interaksi sosial dapat terpenuhi: (a) suatu orientasi ke arah perilaku subjek lain yang bertindak, dan (b) suatu relasi refleksi orientasi tindakan resiprokal dari beberapa subjek yang bertindak [TTK1: 344].

Untuk membangun sebuah teori tindakan, ada hal lain yang lebih penting. Haruskah Weber memperkenalkan aspek rasionalitas tindakan berdasarkan model tindakan teleologis, ataukah justru konsep tindakan sosial yang harus dijadikan dasar rasionalitas tersebut? Untuk kasus yang pertama, Weber harus membatasi dirinya pada aspek rasionalitas yang terikat dengan model aktivitas-aktivitas, yaitu dengan rasionalitas makna dan tujuan. Sedangkan untuk kasus kedua, pertanyaan yang muncul adalah apakah relasi-relasi refleksi orientasi tindakan itu berbeda-beda dan oleh karena itu menjadi aspek tambahan bagi dasar tindakan agar bisa dirasionalisasikan [TTK1: 345].

Weber tidak mampu membuat tipologi tindakan yang tidak resmi yang dikemukakannya ini bisa bermanfaat bagi problematika rasionalisasi masyarakat. Versi yang resmi, bagaimanapun, dipahami secara sempit sehingga di dalam kerangka kerja tindakan sosialnya hanya dapat dijajagi berdasarkan aspek rasionalitas-bertujuan. Dari perspektif konseptual ini rasionalitas sistem tindakan harus dibatasi pada pembentukan dan perseberan tipe-tipe tindakan rasional-bertujuan yang spesifik bagi berbagai subsistem. Jika rasionalisasi masyarakat akan diteliti secara menyeluruh, maka sangat diperlukan landasan tindakan teoretis [TTK1: 349].

Dalam kerangka teori rasionalisasi, proses pembentukan diri masyarakat berarti proses menuju “rasionalitas”, atau proses menuju otonomi dan kedewasaan (Mundigkeit). Oleh karena itu, di samping teori materialisme-sejarah Marxis, teori Rasionalisasi Weber juga mendapat kedudukan penting dalam proyek Teori Kritis untuk menyusun sebuah teori perkembangan masyarakat [MMK: 118].

Habermas lebih rinci lagi mengkritik modernisasi kapitalis yang memutlakkan rasionalitas kognitif instrumental dalam bentuk kekuasaan politis dan kemakmuran ekonomis yang berpadu dengan hedonisme dan konsumerisme yang menyebabkan erosi makna, karena modernisasi tersebut menindas bentuk rasionalitas lain, yaitu rasionalitas praktis-moral. Masalahnya adalah, dalam masyarakat kapitalis, ketiga bentuk rasionalitas itu tidak dikembangkan secara seimbang [MMK: 118].

Di sini kita melihat bahwa Habermas mengambil sikap yang berbeda dari rekan-rekannya dari Mazhab Frankfurt. Bahkan ia juga tidak sepenuhnya setuju dengan Weber. Ilmu dan teknologi yang dicurigai sebagai bentuk penindasan oleh para pendahulunya justru dilihat sebagai faktor penting yang mengemansipasikan masyarakat dari kendala alamiah dan proses obyektif, bahkan teknologi sosial sekalipun dipandang sebagai sebuah kemungkinan untuk perkembangan masyarakat. Tapi Habermas memberi peringatan bahwa semua ini harus dilancarkan secara seimbang dan utuh dengan pengembangan di bidang hukum, moralitas, erotisme, dan seni [MMK: 118-119].

No comments:

Hukum Penalaran dan Ilmu Hukum

  Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut ultricies efficitur nunc id accumsan. Aliquam quis facilisis felis. Integer...