Suatu saat di dalam perkuliahan, kami sekelas diingatkan oleh seorang dosen, bahwa:
Hukum kita tidak mampu berjalan dan menjadi baik, lantaran kita tidak memiliki landasan filsafat hukum yang baik.Itu adalah pengungkapan rasa kesal dan dorongan kepada kami untuk menyelami filsafat dan menyelamatkan basis hukum kita. Beliau adalah Theodorus Sardjito, dosen kami yang telah berpulang kepada-Nya sekitar satu setengah tahun silam. Baliau belum juga sempat menyelesaikan doktornya, Allah sudah menggelarinya almarhum. Semoga yang ia telah tanamkan dengan kuat, tentang filsafat hukum, di tanah pikir kami yang terlalu cadas waktu itu, bisa bermanfaat di kemudian hari. Dan memberikan jalan terang bagi semua.
***
Bagaimana cara memperbaiki sistem hukum?
Mulailah dari yang sederhana, dari tiap-tiap organ kehidupan (manusianya, masyarakat, administrasi, hukum, politik) dari yang sederhana. Tetapi permasalahannya adalah, bagaimana kita bisa 'menyelesaikan' mereka yang sudah 'rusak', berada di pusat, dan mengakar?
Bisa digambarkan, bahwa ketika kekuatan untuk perubahan ke arah kebaikan tidak memunculkan hal-hal dasar dan menyuarakannya. Maka perubahan keseluruhan tidak akan pernah terjadi. Dan masalah besarnya (yang seringkali tak selesai-selesai) adalah, para tetua yang uzur itu memiliki basis yang luas.
Maka cara, dengan pengandaian yang tidak serumit praktenya, adalah dengan menanamkan, mengagitasi setiap insan untuk melakukan pola pemikiran mendasar (filosofis) terhadap permasalahan-permasalahan yang berkembang. Akar filsafat, sebagaimana pengungkapan Alm. Sardjito di atas adalah penting. Filsafat adalah mengajarkan manusia untuk kembali memandang dan menganalisa berbagai hal dengan kembali ke dasar, menyelesaikan masalah dengan mengurai akarnya dan menjabarkan tiap bagiannya ke dalam akar masing-masing. Maka semua akan melihat, di mana saja kesalahan yang selama ini terjadi, dan menghambat proses untuk menjadi diri sendiri (dengan hukum yang bernurani), dan mampu melihat pola keberpihakan hukum (pada siapa dan kenapa).
Berfilsafat = Sosiologi (Hukum)?
Maka cara, dengan pengandaian yang tidak serumit praktenya, adalah dengan menanamkan, mengagitasi setiap insan untuk melakukan pola pemikiran mendasar (filosofis) terhadap permasalahan-permasalahan yang berkembang. Akar filsafat, sebagaimana pengungkapan Alm. Sardjito di atas adalah penting. Filsafat adalah mengajarkan manusia untuk kembali memandang dan menganalisa berbagai hal dengan kembali ke dasar, menyelesaikan masalah dengan mengurai akarnya dan menjabarkan tiap bagiannya ke dalam akar masing-masing. Maka semua akan melihat, di mana saja kesalahan yang selama ini terjadi, dan menghambat proses untuk menjadi diri sendiri (dengan hukum yang bernurani), dan mampu melihat pola keberpihakan hukum (pada siapa dan kenapa).
Berfilsafat = Sosiologi (Hukum)?
Untuk melihat semuanya kembali kepada akar dan membangkitkan potensi keberpihakan hukum kepada kebenaran secara lebih baik (tidak secara utuh, walaupun itu yang harus dikesankan, tetapi politik hukum selalu memiliki pertimbangan yang tidak kita sukai, keberpihakan pada hal lain, selain keadilan bagi siapa saja), dan bebas kepentingan negatif. Maka perlu pendekatan yang lebih rooting. Pendekatan yang lebih dapat mengakses data base pengetahuan tentang hukum, dan application-nya. Pengetahuan itu dapat diantarkan oleh peran sosiologi murni kepada hukum.
Filsafat kepada hukum memberikan landasan bersimulasi dalam ukuran dasar-dasar etika dan estetika keberadaban, dengan tujuan untuk memberikan takaran yang pas dalam cara berfikir dan menelurkan gagasan serta konsep hukum yang logis dalam maknanya sebagai bagian dari kebutuhan batin masyarakat. Sedangkan Sosiologi Hukum memberikan langkah klarifikasi terhadap logika dan berbagai hipotesa dalam tahap filosofis.
Dalam tingkat filsafat akan ditemui berbagai idealisme yang masih ada di dalam angan, dan filsafat akan sangat membutuhkan data lapangan, data realistis empiris. Untuk mendukung, menyangkal, melemahkan, atau memperkuat hipotesa awal. Dengannya lantas filsafat itu akan berkembang, dan secara siklikal akan senantiasa membutuhkan informasi dan data baru dari ruang sosialnya. Maka dalam hal ini, kejujuran dalam memandang masyarakat dipercayakan kepada suatu kajian yang kita sebut sosiologi, bidang yang terus menerus melepaskan diri idealis filsafatnya dan menemui fakta lapangannya dengan alat-alat ukur yang terus up graded. Ia melepaskan diri dari filsafat, mencoba meraih data faktual mencerna lantas menelurkan pemikiran baru (ketiganya diproses dengan peralatan yang kontekstual). Pemikiran baru itu lantas memberi asupan ide kepada filsafat, lalu berkembang kepada idealisme, lantas keinginan penggalian secara ilmiah sosiologis, dan seterusnya, dan seterusnya.
Maka kejujuran dalam menciptakan idealisme hukum mesti tidak lepas dengan filsafat hukum serta pencandraan sosial dengan perangkat sosiologi (hukum). Dari sinilah kita berangkat mengangkat bentuk-bentuk kritis, dan semua ide semestinya menjadi gerakan yang mencerahkan siapa saja dalam ruang sosial. Satu ruang terhadap lainnya, dalam tiap layer.
Kekuatan untuk senantiasa ber dialektika dengan idealisme dan kesahihan pengamatan sosial akan memberikan santapan yang kukuh dan berkesinambungan. Sehingga ide tidak akan lagi (sekecil mungkin) terlucuti saat menghadapi pertarungan non-virtual di masyarakat. Dan hukum akan tak tanggung-tanggung berjalan dan tak lagi tanggung, tak main tabrak.[sr]
No comments:
Post a Comment