Tuesday, August 30, 2011

facebook, twitter, dan kesabaran ummat dalam perbedaan lebaran

Kebetulan saya secara statistik tidak terdata jadi warga salah satu ormas Islam. Dan keributan di facebook maupun twitter sudah terasa.
Ribut soal perbedaan lebaran tidak sepanas tahun lalu, yang sebenarnya juga berbeda.
Sebenarnya tidak sepanas ini saya rasa, perbedaannya adalah kita berada dalam ruang publik yang lebih terbuka dan informatif, interaktifitas antara satu dan lainnya juga lebih terbuka luas.
Semua jadi mudah heboh dan bergejolak dengan adanya persebaran masalah yang ada. Semakin tinggi komunikasi maka perselisihan paket data yang dikirimkan akan semakin beragam dan masing-masing beda akan menciptakan mainstream sendiri-sendiri, dengan ketegangan masing-masing yang berbeda-beda (dengan banyak kata ulang, dan dengan tingginya perulangan informasi).
Tidak lagi membahas perbedaan cara pandang dalam menyelesaikan permasalahan penentuan awal bulan dan akhir bulan, pokok informasinya adalah sekedar berbeda dan keterkaitannya dengan berbagai hal khas Ramadhan dan 1 Syawal yang dielu-elukan.
Media / Jejaring Sosial di dunia maya memiliki ruang-ruang emosionalnya sendiri-sendiri. Kedekatan di antara satu pemilik akun dengan pemilik akun lainnya akan mampu menularkan ekspresi kegelisahannya atau kebijaksanaannya dalam memandang permasalahan ini. Terkadang penularan itu terlalu meledak dengan cepat, dan menjadi trend di twitter. Dan di Facebook lebih marak dengan perujukan informasi kepada sumber data di luar situs tersebut, yang tetap bisa fleksibel memainkan peran keterhubungannya dengan twitter.




Dan ternyata
Dan sekali lagi media jejaring social maya menjadi ruang kritik yang tajam terhadap keputusan MUI untuk mengeksekusi jatuhnya 1 Syawal pada 31 Agustus 2011. Ada kritik tajam terhadap konsep kepercayaan dan kepatuhan masyarakat muslim kepada "Ulil Amri", di saat otoritas pemerintah telah mulai hilang dan surut dari hati masyarakat, apakah bisa kita disalahkan dan dituduh rendah dengan memakai pendapat yang populer dalam mengambil sikap terhadap penentuan akhir Ramadhan?
Sekali lagi, saya bukanlah seorang yang mengikuti erat pada pendapat salah satu ormas Islam negeri ini, tetapi saya menghargai perbedaan dan tidak ingin perbedaan justru diperumit dengan penetapan 1 Syawal pada malam saat sebagian yang lain sudah menentukan bahwa dua jam yang lalu sudah 1 Syawal.
Melalui MUI yang notabene adalah Islam-nya pemerintah, atau kebenaran ALLAH Swt yang hadir kepada ummat Indonesia (dengan berbagai filter politis tentunya). Keadaan menjadi pelik.
Tidak hanya Muhammadiyah yang menjalankan Shalat Ied esok tadi (30 Agustus 2011) tetapi ada ribuan warga NU di Jawa Timur yang juga melaksanakannya (silakan baca: link ini), tetapi berhubung ketetapan pemerintah dan PBNU adalah sejalan dan sepakat untuk menetapkannya di hari Rabu, maka jumlah ummat yang ada di luar keputusan MUI adalah tidak minor, bisa jadi 50:50.
Dan pemerintah melalui otoritas MUI menang melalui poling dan penalaran mereka (dengan beberapa tokoh di dalamnya yang bertanggungjawab menentukan arah gerak ummat) siap menanggung kesalahan jamaahnya, yang dikarena kelalaian atau keangkuhan dalam memegang mandat.

Kritik Ideologi
Kritik terhadap ideologi adalah kritik terhadap kepentingan pemegang otoritas dan pengetahuan yang mereka miliki, untuk menggiring akal publiknya.
Kritik dari contoh luas kita di ruang underground cyber, memberikan contoh mendasar bagaimana kesalahan yang ada dan merasakan bahwa dirinya mapan dan benar sendiri akan terus dikritik dan mendapatkan gesekan keras dari mereka yang menemukan kesalahan atasnya, dan hal ini dilakukan secara bebas. Dengan memanfaatkan  ruang publik dan kemungkinan luas publisitasnyalah individi menyebarkan pembelaannya dan dukungan praktisnya ke dalam ruang sosial mayantara. Dari sanalah fakta akan menemui pendapat kolektif.
Kritik kekuasaan MUI dan fakta yang berkebalikan di lapangan adalah kepongahan mereka kali ini, dan ummat memang perlu menanggung sabar sebaik mungkin dan menjadi bijaksana.
Masyarakat terus belajar bijaksana dengan menyaksikan orang-orang yang kurang bijaksana, begitulah manusia yang dibekali sabar dan tawakkal bersikap. Semoga ALLAH senantiasa merahmati ummat Islam di bumi Nusantara, dan ummat lainnya yang harus menanggung kesalahan teoritis dan kesalahan penerapan kekuasaan negara saat ini. Semoga doa untuk dihapusnya pemerintah rusak dan bermasadepan suram itu segera terlaksana.

Dan
Semestinya bukan kebencian yang bersulut sulut dalam menghadapi ini semua. Publik bisa menciptakan kritik massalnya dengan kedekatan satu sama lain dalam ruang sosial mayantara, ruang yang memudahkan orang bersentuhan dengan mereka yang lebih banyak. Keadaan era informasi digital adalah era saat yang mayoritas dalam jumlah akan menggerakkan sistem, bukan lagi kekuasaan yang tidak bertanggungjawab yang terdiri atas beberapa orang kurang amanah.
Kini tak ada lagi efektifitas surat kepada pemimpin, Jejaring sosial maya adalah jawaban pas untuk menggerakkan ruang, dari ruang maya kepada ruang nyata.
Semua ini menjadi mungkin, karena internet tidak dikontrol oleh otoritas yang otoriter dan menindas beberapa hak Anda.
Tetapi, setidaknya Anda harus selalu waspada dan terus mawas diri terhadap ruang maya Anda. Tidak semua informasi di sini adalah benar sepenuhnya.
Dalam lautan informasi inilah, justru ada hitungan tak terbatas (yang terus meningkat), atas celah distorsi. Yang mampu menyimpangkan pikiran dan nalar Anda tentang sesuatu.

"Keep Learning and Watching around, keep aware"

Sunday, August 28, 2011

Kehancuran Negara dan Revolusi Tanpa Senjata


picture source: Cris Escher

Ini adalah percakapan antara saya dan seorang pensiunan AD yang tak pernah berhenti dengan jiwa prajuritnya, kami melihat negara ini dengan cara yang sama. Sama-sama geram, sekaligus optimis. Optimis dengan adanya gerakan perubahan untuk lebih baik.
Dan ini adalah pertemuan penilaian gagasan-gagasan dua generasi yang mencintai negeri Indonesia mereka, saat menjadi amil zakat fitrah Ramadhan ini.

Menurut Anda seperti apakah negara kita saat ini?
Jika kita berbicara mengenai negara, maka kita berandai-andai berada di dalam sistem pemerintahan. Pemerintahan adalah adanya hubungan komando antara tukang perintah dan yang diperintah. Di dalamnya ada kedaulatan negara dan kerelaan tiap unsur-unsurnya yang berupa rakyat dan bentuk-bentuk privat lainnya untuk diatur dalam suatu sistem, kerelaan mereka ini yang ada dalam negara adalah secara sukarela (namanya juga rela). Kedaulatan hidup dan kebebasan tiap individu dalam negara dipercayakan kepada sistem yang sekiranya dapat melindungi diri mereka dari buasnya kehidupan liar. Hal ini kita pelajari dalam dasar pengenalan tentang bentuk asal-usul negara.

Pada kenyataannya kegelisahan rakyat sudah sedemikian kurang dapat diserap dan diimplementasikan pemetintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan praktisnya dengan baik. Kerelaan untuk diatur dan kurangnya perhatian Negara kepada masyarakat yang diaturnya sungguh bukanlah hal yang jujur dan seimbang, bukan suatu hubungan timbal-balik yang bermanfaat dan berjalan baik. Arogansi Negara sudah dirasakan oleh rakyat dengan jelas pada berbagai hal, dan tidak diingkari dalam berbagai hal lainnya juga Negara mengambil peran baik dalam mengelola jalannya sistem. Namun, kegelisahan yang cukup luas dalam berbagai unsur kehidupan yang dialami oleh rakyat rupanya tidak dapat dicakup dengan baik oleh para pengelola sistem.

Jika keadaan telah timpang, maka kepercayaan akan surut. Pada akhirnya Negara seperti agama yang sudah mulai berkurang orang-orang yang mengimaninya dengan baik, hanya simbol pada hal-hal tertentu. Ke-Indonesia-an bisa jadi hanya muncul dalam Timnas sepakbola bagi sebagian orang, dan tidak ada pada hal lain. Keyakinan masyarakatnya sendiri terhadap Negara dalam menjadi tumpuan hidup kian rentan.

Revolusi Tanpa Senjata
Kita, pada keadaan yang kira-kira mendekati keserupaan dengan keadaan yang memicu revolusi perancis dan beberapa revolusi lain. Saat ketimpangan antara proletar dengan tingginya posisi borjuis dan hilangnya ruang-ruang yang menjadi antara bagi keduanya, kemudian mendorong adanya ketimpangan ekstrim.

Kekuasaan dan uang di negeri ini sudah mampu membeli kebutuhan hukum dan kebutuhan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan soal makan. Yang kaya sudah sedemikian mencolok di antara kita, sedangkan yang kian menuju miskin meningkat dalam jumlah yang luar biasa.
[still typing...]

Saturday, August 27, 2011

How Airlines Use Twitter [Infographic]

How Airlines Use Twitter [Infographic]
by Richard Darell (bitrebels.com)

It’s not a complete surprise that more and more companies actually get what Twitter is all about.  It’s not even a huge surprise that companies that seemingly wouldn’t really profit from tweeting (because of the way the company is run) are still starting to embrace the service.  I personally think it’s great, and it sheds new light on how they are evolving into something more organic rather than just huge corporate infrastructures that even the tycoons of the business find boring in today’s business landscape.
It’s not only inspiring, but it also goes to show that Twitter has an enormous impact on any company if they just decide to use it right.  By “right,” I don’t mean following all the guidelines that have been set up by the early adopters of the service.  No, I mean to use it in the way that it profits the company and enhances the look of the brand without necessarily becoming a boring ole discount sharing tweet machine.
It’s interesting; however, to see how airlines have adopted Twitter in their own form.  The instant recognition of right and wrong is what stands out the most here.  If a negative tweet is tweeted by an unhappy customer, the airline has a chance to deal with the issue right away.  Whether it be to dismiss the complaint or to reward the customer in public for pointing out service flaws, it’s a way to reach out and do some good.
This really interesting infographic from Travel 2.0 Consulting is a great look at how airlines are adopting the service, and how they supposedly are doing it.  But as with any company, the larger it is, the harder it will become to keep track of what everyone is doing.  So, all the negativity might not hit the highest hen before the damage is already done.  I am sure they are working on optimizing that… or so I hope!


>>Click here to see the full-view infrographic<<



Friday, August 26, 2011

Hacker dalam Culture

Pertemuan dengan beberapa hacker adalah pertemuan yang mengesankan, bagaimana kemampuan mereka yang beragam dan dasar-dasar nilai yang mereka serap juga beragam.
Alasan seseorang melakukan serangan terhadap suatu situs pun sangat beragam, bisa karena alasan politis, ter0r, agama, pamer, sampai hanya sekedar iseng. Dan dari sedemikian banyak gagasan tentang serangan (cyber tresspass) yang menarik banyak perhatian adalah defacement. Defacement ini menerapkan beberapa trick dalam hacking, tetapi tidak semua defacer bisa kita katakan sebagai hacker, hal ini sangat relatif dengan kemampuan personal. Dan lebih dalam, tingkat kesulitan dalam melakukan serangan juga menentukan kemampuan pelakunya. Security web yang demikian kuat akan membutuhkan serangan dengan kemampuan hebat, tidak hanya serangan seperti kepada basis data yang memang mudah dibuka melalui celah yang populer (kalau yang ini, siapa pun bisa mengimplementasikannya, dengan bantuan google dan beberapa tindakan lebih lanjut).


Hacker dalam pandangan umum
Masyarakat memiliki pandangan yang berbeda beda tentang hacker dan dunianya, akan tetapi sebagian besar yang mereka dapatkan adalah definisi yang tersebar di media massa. Media ini lantas memengaruhi pandangan pada pengambil kebijakan, dan begitu pula terus berantai. Orang-orang yang memahami dan mengambil konsep 'hacker' itu dengan apa adanya dari film-film yang mereka tonton, atau buku-buku sains-fiksi yang mereka baca, dan berita-berita tentang kejahatan cyber di koran dan televisi dan isu-isu yang menyebar di jejaring sosial. Konsep tentang hacker kemudian bergeser dari bentuk awalnya, konsep ini terdistorsi oleh media dan peran mulut-telinga-mulut-telinga yang tak habis-habisnya.
Dan kelemahan informasi yang tidak ada patokan idealnya adalah, pengertian tentang sesuatu itu pastilah akan sangat mudah terdistorsi.
Oleh karenanya, pada akhirnya, pemahaman dan pengenalan setiap orang mengenai 'hacker' dan dunianya adalah tergantung kepada dua hal utama:
  1. Persentuhannya dengan dunia hacker secara interaktif. Yang dapat memanfaatkan komunikasi atau media pembelajaran yang ada dalam komunitas, jauh dan dekatnya seseorang terhadap individu profesional hacker dan komunitasnya akan memberikan persepsi atau pemahaman yang beragam. Keberagaman kelompok hacker juga menentukan pandangan ini.
  2. Kepercayaan kepada media kultural. Media seperti televisi, buku, berita via internet atau koran digital dan sebagainya, apa pun yang diberitakan dan disampaikan di dalamnya sangat tergantung kepada kepercayaan publik. Semakin kepercayaan itu mudah dibentuk, maka persepsi di benak penyimaknya akan semakin mudah diarahkan dan berada di bawah pengaruhnya. Termasuk persepsi tentang 'hacker'
Untungnya adalah, hacker kini semakin mudah kita temui dalam kehidupan seiring interaktifitas kita dengan dunia maya dan kebutuhan kita akan keamanan dan kenyamanan di dalamnya. Hal ini mendukung keinginan kita untuk mengenal komunitas hacker lebih dekat, lantas memiliki kedekatan dengan hacker secara personal (di dalam .net). Kedekatan ini memiliki beragam alasan, bisa dengan alasan untuk mendapatkan ilmu, alasan untuk jadi teman, dan dari teman kita bisa mendapatkan keutamaan dalam hal bantuan keamanan sewaktu-waktu. Dan lain sebagainya.

Jika Anda masih ragu dengan kemungkinan untuk mendekati seorang hacker dengan baik, maka kenalilah sisi sosial mereka dan dapatkan ruang untuk lebih komunikatif, untuk membuka pemahaman satu sama lain, karena dari sanalah cara seseorang dapat memahami satu sama lain, dalam ruang-ruang digital, dalam hitungan bites dan dalam ketergantungan sinyal modem Anda. Dalam komunikasi dan dalam ruang sibuk para hacker, kecepatan koneksi adalah sisi lebih yang diperlukan. Karena sesekali kita bisa saling berbagi dengan koneksi yang lebih baik untuk teman hacker kita.
Akan tetapi satu hal yang patut diingat.
"Hacker adalah seniman, dan tidaklah mudah berinteraksi dengan seniman."
Ketahuilah seni dan dunia yang mereka dalami, kenalilah mereka dengan baik dan kesantunan Anda, maka mereka akan senang untuk Anda ajak berbagi pula. Rendahkanlah hati Anda untuk menyimak dan mau menyadari eksistensi hacker dan pentingnya mereka dalam dunia yang kita sebut 'ruang cyber' yang melipat segala ruang dan waktu yang sudah ada.
[sarung]

Social media talks about rioting 'constructive'

BBC_The government and police have not sought any new powers to shut social networks, the Home Office said after a meeting with industry representatives. Instead they held "constructive" talks aimed at preventing violence being plotted online through existing co-operation, the Home Office said. The meeting with representatives from Twitter, Facebook and Blackberry was held in the wake of English city riots. The prime minister has said police may need extra powers to curb their use. Networks such as Blackberry Messenger - a service which allows free-of-charge real-time messages - were said to have enabled looters to organise their movements during the riots, as well as inciting violence in some cases.

Criminal behaviour
Following Thursday's meeting, a Home Office spokeswoman said: "The home secretary, along with the Culture Secretary and Foreign Office Minister Jeremy Browne, has held a constructive meeting with Acpo (the Association of Chief Police Officers), the police and representatives from the social media industry. "The discussions looked at how law enforcement and the networks can build on the existing relationships and co-operation to prevent the networks being used for criminal behaviour. "The government did not seek any additional powers to close down social media networks."

Dispelling rumours
Prime Minister David Cameron has also said the government would look at limiting access to such services during any future disorder. A Twitter spokeswoman said after the meeting that it was "always interested in exploring how we can make Twitter even more helpful and relevant during times of critical need". She added: "We've heard from many that Twitter is an effective way to distribute crucial updates and dispel rumours in times of crisis or emergency." A Facebook spokesperson said: "We welcome the fact that this was a dialogue about working together to keep people safe rather than about imposing new restrictions on internet services." The company said it had highlighted the role Facebook played during the riots, such as people staying in contact and organising the clean-up. "There is no place for illegal activity on Facebook and we take firm action against those who breach our rules." A number of people have appeared in court in recent weeks for organising or attempting to organise disorder on social networks. Perry Sutcliffe-Keenan and Jordan Blackshaw Perry Sutcliffe-Keenan and Jordan Blackshaw were jailed for four years for incitement on Facebook Jordan Blackshaw, 21, from Marston, Cheshire, and Perry Sutcliffe-Keenan, 22, from Warrington, Cheshire, were jailed for four years for online incitement. Blackshaw had created a Facebook event entitled "Smash Down Northwich Town" while Sutcliffe-Keenan set up a Facebook page called "Let's Have a Riot in Latchford". Both have said they will appeal. Meanwhile, 21-year-old David Glyn Jones, from Bangor, north Wales, was jailed for four months after telling friends "Let's start Bangor riots" in a post that appeared on Facebook for 20 minutes. And Johnny Melfah, 16, from Droitwich, Worcestershire, became the first juvenile to have his anonymity lifted in a riot-related case for inciting thefts and criminal damage on the site. He will be sentenced next month.

Plotting violence
In the aftermath of the riots, which spread across England's towns and cities two weeks ago, Mr Cameron said the government might look at disconnecting some online and telecommunications services if similar circumstances arose in the future. "We are working with the police, the intelligence services and industry to look at whether it would be right to stop people communicating via these websites and services when we know they are plotting violence, disorder and criminality," he told MPs during an emergency session of Parliament. Tim Godwin, the Met police's acting commissioner, also said last week that he considered requesting authority to switch off Twitter during the riots. However, he conceded that the legality of such a move was "very questionable" and that the service was a valuable intelligence asset. Meanwhile, Guardian analysis of more than 2.5 million riot-related tweets, sent between 6 August and 17 August, appears to show Twitter was mainly used to react to riots and looting, including organising the street clean-up. The newspaper found the timing of the messages posted "questioned the assumption" that Twitter was used to incite the violence in advance of it breaking out in Tottenham on 6 August. Currently, communications networks that operate in the UK can be compelled to hand over individuals' personal messages if police are able to show that they relate to criminal behaviour. The rules gathering such queries are outlined in the Regulation of Investigatory Powers Act (RIPA).

original page: http://www.bbc.co.uk/news/uk-14657456

Monday, August 15, 2011

Shalat, sebuah perjalanan 'kembali'



Shalat di Mata Sufi: Anugerah Terbesar dari ALLAH
diterjemahkan dari buku aslinya berbahasa inggris:
The Illuminated Prayers: The Five-Times Prayer of the Sufis as Revealed by Jalaluddin Rumi & Bawa Muhayyaddin,
Karya bersama: Coleman Barks & Michael Green
Terbitan: The Ballantine Publishing Group, New York, 2000
Terbitan indonesia: Pustaka Hidayah | Bandung | 2003
Tebal Buku: 154 halaman

---

Shalat adalah perjalanan seorang makhluk kepada Khaliknya. ini adalah usaha seorang hamba untuk senantiasa dekat dan terus-menerus berusaha untuk selalu ingat kepada Rabbnya.

dalam terminologi "anugerah terbesar dari ALLAH" yang dibawa oleh kedua pengarang buku ini, Michael Green dan Coleman Barks, ini menjelaskan tentang tuntunan seorang guru, Bawa Muhaiyaddin. buku ini seperti sebuah ucapan terima kasih kepada sang guru. berikut saya akan kutipkan satu paragraf pembuka, pengantar pada sosok Bawa.

---

..... Orang yang membangkitkan kesadaran kami adalah yang bernama Bawa Muhaiyaddin. bawa kurang dikenal dibandingkan Rumi. ada pertemuan-pertemuan lain dengan Bawa sekitar pergantian abad ini, namun dia benar-benar memasuki sejarah modern pada usia empat puluhan ketika seseorang menemukannya di sebuah tempat keramat di Sri Lanka, sebuah tempat yang sangat dihormati oleh kaum Hindu, Budha, Kristiani, dan Muslim. dia kelihatannya sangat tua usianya, tidak dipengaruhi oleh perjalanan waktu, meskipun lahiriahnya nampak muda dan kulitnya selembut kulit anak-anak. Bawa selalu mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan tentang sejarah pribadinya, sering kali dengan jawaban bahwa deskripsi tentang Tuhan adalah satu-satunya deskripsi paling penting. pada akhirnya, Bawa pergi ke Amerika, dan memulai hidup bersahaja di sebuah rumah di philadelphia. dia tak punya apa-apa. dia bukan milik siapa-siapa. dan hidupnya didedikasikan untuk kata-kata Rumi: Seorang sufi terbuka kedua tangannya untuk alam semesta, dan mendedikasikan kedua tangannya serta merta dan tanpa mengharapkan imbalan. tak seperti orang yang mengemis di jalanan minta uang demi kelangsungan hidupnya, seorang darwisy memohon agar Anda mau menerima dedikasi hidupnya. dia tidak memasang tarif, tak mau menerima hadiah, dan memperlakukan setiap pencari kebenaran seperti keluarga sendiri. orang yang hadir di saat waktu makan, selalu dimintai untuk tidak pergi. dia akan memberikan pertanyaan sederhana yang mengandung inspirasi: apa yang anda inginkan? apa pun jawabannya, Bawa akan mengembalikan jawaban tersebut dalam keadaan sudah mengalami perubahan yang menyeluruh .....

---

seperti bimbingan tentang shalat, buku ini disusun berdasarkan urutan-urutan:
  • Mukadimah
  • Shalat
  • Waktu-waktu
  • Azan
  • Wudhu
  • Tempat untuk shalat
  • Kiblat
  • Shalat
  • Lebih jauh
  • Bacaan
dengan pemaparan dan menggalian hikmah spiritual yang khas Rumi dan Bawa, kita akan merasakan indahnya shalat dan insyaALLAH akan dapat menikmati syahdunya ikatan cinta dalam tiap saat, rakaat, dan seluruh sujud serta munajad di dalamnya. yang dapat membimbing kita lebih dekat dan lebih pekat dalam CintaNya.

akhir kata: selamat menikmati dan mensyukuri tiap detik dalam shalat dalam seluruh waktu kita. BarakALLAH.

The Innovation Killer



title: The Innovation Killer
pub.: amacom | new york | 2006
pages: xx + 219 pages

---

excerpt from the book:

we face dilemma. when it comes to innovation, the same hard-won experience, best practices, and processes that are
the cornerstones of an organization’s success may be more like millstones that threaten to sink it. said another way, the weight of what we know, especially what we collectively ‘‘know,’’ kills innovation. Yet in many fields what we must know in order to make even the most basic contribution is ever-increasing.

it is a paradox. the paradox of expertise. you can’t innovate with it. you can’t innovate without it.
why can knowledge and experience be so lethal to innovation?

because when we become expert, we often trade our ‘‘what if’’ flights of fancy for the grounded reality of ‘‘what is.’’ But insight and innovation require a certain lightness of mind. perhaps Wilbur and Orville Wright, two brothers with high-school educations who earned their living building bicycles, didn’t know enough to realize they were attempting the impossible when they first defied gravity in a powered aircraft on December 17, 1903 in Kitty Hawk, North
Carolina. If they had been the recipients of more formal education, would they have had the attitude that Orville illustrates with this quote? ‘‘If we worked on the assumption that what is accepted as true really is true, then there would be little hope for advance.’’

perhaps not. noted economist and Princeton professor emeritus, William J. Baumol, wrote a paper entitled ‘‘Education for Innovation,’’ outlining the negative impact formal education can have on innovative thinking capability because it so completely indoctrinates individuals in the expert thinking of a field. He notes that many breakthrough inventions are the work of individuals who have relatively low levels of formal training. Citing the Wright Brothers as well as other relatively under-formally-educated examples—such as Bill Gates, Thomas Edison, and Steve Jobs—Baumol introduces the hypothesis that education meant to help a student master a subject might be completely at odds with fostering innovation in that subject.

now contrast this caution against overeducation with the obvious fact that without increasing levels of knowledge there would be no progress. Professor Benjamin Jones of Northwestern University recalls Isaac Newton’s famous words of 1676, ‘‘If I have seen further it is by standing on the shoulders of giants.’’ He then notes that ‘‘if one is to stand on the shoulders of giants, one must first climb up on their backs, and the greater the body of knowledge, the harder this climb becomes.’’ He asserts that over time the educational burden will continue to increase as would-be innovators strive to learn what their predecessors knew and then go beyond it. As one proof-point of this assertion he notes that the average age at which great inventors and Nobel Prize winners introduced their ‘‘great innovations’’ increased by six years during the last century.

this statistic isn’t difficult to believe. few would argue that modern aeronautics engineers need to know everything the Wright Brothers did plus the knowledge accumulated in over a century since then in order to contribute meaningfully to the development of new airplanes. Or, that the knowledge required to invent the wheel was minuscule compared to that required to build a Toyota Prius or a Mercedes Benz today. Or, even that business managers need to have a deeper understanding of organizational science, manufacturing techniques, and financial models than the business owners of earlier generations.

---

the book content:

[part 1] what’s weighing us down
chapter 1. our own worst enemy: how the burden of what we know limits what we can imagine
chapter 2. groupthink: the strongest force on earth: why sustained innovation is so darned hard: part 1
chapter 3. expertthink: groupthink on steroids: why sustained innovation is so darned hard: part 2

[part 2] zero-gravity thinkers
chapter 4. time travel to see the naked emperor: the benefit of psychological distance
chapter 5. just curious: the benefit of renaissance tendencies
chapter 6. smart about something else: the benefit of related expertise

[part 3] defying gravity
chapter 7. the collaborator: what does a zero-gravity thinker actually do?
chapter 8. when and where . . . when do you need a collaborator and where do you find one?
chapter 9. how to work with a zero-gravity thinker: eleven questions and answers
chapter 10. do-it-yourself weightless thinking: losing the weight of expertise on your own
chapter 11. the courage to go where no one has gone before: the role of the leader

---

u can buy this book in amazon.com:

innovation killer

Sekelumit Sejarah Psikoanalisa (Sigmund Freud)



judul: Sekelumit Sejarah Psikoanalisa
penerbit: Gramedia | Jakarta | 1983
tebal buku: xii + 148 halaman

---

sejarah psikoanalisa menegaskan bahwa istilah "psikoanalisa" pada mulanya hanya dipergunakan dalam hubungan dengan pemikiran Freud tentang hidup psikis manusia, sehingga "psikoanalisa" sana artinya dengan "psikoanalisa Freud". dengan menegaskan itu diakui bahwa Freud merupakan pemimpin gerakan psikoanalisa, yang timbul di daratan Eropa lalu menyebar ke inggris, amerika serikat, dan ke seluruh dunia. dialah pencetus dasar-dasar pemikiran psikoanalisa, yang berkembang sampai sekarang. gerakan psikoanalisa berhasil membawa manusia semakin jauh melangkah ke dalam medan rahasia pribadi manusia.

dua karangan asli dari Freud yang dipilih untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr.K.Bertens, dosen filsafat pada sekolah tinggi driyarkara (jakarta) dan fakultas psikologi universitas indonesia menggambarkan perkembangan pemikiran dan gerakan psikoanalisa. kekhususan dari dua karangan terpilih ini adalah bahwa Freud memperkenalkan psikoanalisa kepada pembaca awam secara ringkas tetapi mengenai intisarinya.

---

buku ini adalah pengantar kepada studi Freud sendiri tentang psikoanalisa.

---

Psychopathology of Everyday Life (Sigmund Freud)



judul: The Psychopathology of Everyday Life | Sigmund Freud
penerbit: Penguin Books | Middlesex, England | 1976
tebal buku: 384 halaman.

---

The Psychopathology of Everyday Life has possibly done more than any other book to popularize psychology. Freud wrote it deliberately for the ordinary reader at the turn of the century and, as fresh editions appeared, constantly added new illustrations and anecdotes without changing his basic theories. Though hardly any of his work has been so frequently printed and so widely read, it is a curious fact that this translation, made by Alan Tyson, contains the first full English text of Freud's book in its final and greatly expanded form.

Here, with brief examples that are endlessly intriguing, we have the simple but convincing explanations of things that are familiar to everybody: the sudden forgetting of proper names, of sets of words, impressions and intentions; childhood and 'screen' memories; bungled actions and other errors; and all those little, significant mistakes of tongue and pen that have to be called 'Freudian slips'.

---

pada awalnya Freud mendapat banyak kritik sehubungan dengan metodenya yang dikenal dengan 'Psikoanalisa Freud', terutama karena pandangannya bahwa represi atau stress yang dialami seseorang adalah karena tekanan yang bersifat seksual yang ia dapatkan sejak masa kanak-kanak, sanggahan atau kritik atas Freud adalah bahwa tidak benar anak-anak memiliki tekanan semacam itu karena hal yang bersifat seksual yang mampu memberikan efek represi hanya didapatkan sejak seseorang itu menginjak usia dewasa atau remaja.

nama Freud sendiri seringkali dikaitkan secara serta merta terhadap bidang psikoanalisa, tetapi Freud menyanggahnya, karena sebelum dirinya ia mengetahui bahwa seorang dokter telah melakukan penelitian permulaan yang kemudian memperkenalkan Freud pada bidang analisa psikologis.

dokter yang menerapkan metode ini sebelum Freud adalah seorang dokter yang juga warga Wina, Dr. Josef Breuer. saat Breuer melakukannya Freud mengatakan bahwa dirinya saat itu masih di bangku kuliah dan sedang mempersiapkan ujian terakhirnya. penjelasan tentang ini dapat anda baca pada review tentang buku Freud yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu buku 'Memperkenalkan Psikoanalisa' (Lima Ceramah), berisikan lima ceramah yang disampaikan oleh Freud dalam berbagai forum untuk mempromosikan psikoanalisa.

secara istimewa buku psychopathology ini menjelaskan tentang berbagai bentuk 'slips' tentang berbagai hal-hal sederhana dalam kehidupan, slips tersebut menunjukkan adanya pengaruh tekanan psikis dalam diri seseorang.

memang secara detail bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan psikoanalisa adalah bertujuan untuk secara perlahan dan teliti mengorek masalah kejiwaan seseorang secara mendalam, dan merunutnya hingga ke masa lalu, bahkan sampai ke masa kanak-kanak. sebagaimana Breuer menemukan bahwa seorang gadis, pasien yang ia tangani, sebagaimana disimak oleh Freud, mengalami tekanan karena kecintaannya pada ayahnya. pada masa kritis ayahnya, si gadis mendampingi dan merawat ayahnya, tetapi itu terpaksa ia hentikan ketika ia jatuh sakit. hal inilah yang menjadi sebuah tekanan psikis yang ia bawa hingga usia dewasa. dalam kasus ini si pasien secara represi mengalami tekanan yang mengakibatkan hysteria.

slips yang banyak diurai dalam buku ini cukup menarik. bagaimana banyak kesalahan yang muncul pada keseharian seseorang dikarenakan ia menahan represi kejiwaan, lalu berusaha untuk membuat seolah-olah ia bisa mengatasinya, memanipulasi. kenyataannya itu justru menumpuk represi yang ada, dan demikianlah sesungguhnya tekanan psikis bisa muncul secara berlebihan saat orang menipu dirinya seakan dia tak memiliki masalah. dengan metode Freud, kita bisa berusaha memahami dan mengurainya, lalu mereduksi tekanan itu.

---

daftar isi dari buku ini:

[+] The Forgetting of Proper Names

[+] The Forgetting of Foreign Words

[+] The Forgetting of Names and Sets of Words

[+] Childhood Memories and Screen Memories

[+] Slips of the Tongue

[+] Misreading and Slips of the Pen

[+] The Forgetting of Impressions and Intentions

[+] Bungled Actions

[+] Symptomatic and Chance Actions

[+] Errors

[+] Combined Parapraxes

[+] Determinism, Belief in Chance and Superstition

--- Some Points of View

---

kamus filsafat (dictionary of philosophy)



the space given is always in proportion to the philosophical and historical importance of the subject and research is made easy by bibliography and quotations.

judul buku: Dictionary of Philosophy
penerbit: littlefield, adams & co | Ames, Iowa | 1956
tebal buku: viii+344 halaman

ini adalah kamus filsafat, meliputi di dalamnya adalah berbagai sejarah singkat istilah, konsep pemikiran, hingga tentang tokoh filsafat secara ringkas dan padat.
buku ini, sebagaimana layaknya kamus, disusun menurut abjad, dan tentang pembagian waktu kuno - pertengah - modern tidaklah dipilah berdasarkan urutan, melainkan semuanya dicampur, seperti es campur, lebih nikmat untuk melompat-lompat dari gagasan-ke-gagasan, dari filosof-ke-filosof. penyusunnya tidak seorang diri, tetapi disusun oleh beberapa kontributor yang mapan dalam bidang filsafat.
dikoordinatori oleh dagobert d. runes, yang mengedit sumbangan tulisan dalam tiap input data di kamus ini, yang terdiri dari 72 authorities.
sangat bermanfaat untuk mempelajari filsafat, apalagi saya yang masih awam ini :).

nb: saya nemu waktu jalan-jalan di pasar johar, semarang.

GORAZDE: zona aman (perang bosnia timur 92-95)



ini adalah sebuah novel grafis karya joe sacco, seorang wartawan perang yang sekaligus dengan kemampuan narasi khas novel plus kemahiran berkomik, menceritakan kembali pengalamannya selama berada di bosnia pada masa perang saudara (saya tidak yakin apa bisa dikatakan perang saudara).
pertempuran yang muncul dan dituturkan di sini adalah karena adanya kekacauan otoritas kekuasaan pasca meninggalnya josip broz tito, seorang tokoh yang terkenal sebagai pemersatu negara kesatuan yugoslavia.
dengan penuturan yang hangat dan seperti umumnya novel grafis non-fiksi yang tersusun dalam narasi rapi. 'gorazde' mampu menjelaskan kepada kita bagaimana pertempuran itu berawal dari cerita masyarakat yang mengalaminya. dari ambisi para serbia untuk mendominasi dan mengontrol sepenuhnya kedaulatan seluruh bagian negara dari yugoslavia, dimulai dari perseturuan politik dan kemudian berlanjut kepada pengendalian masa sepenuhnya.
saat malam pertama tiba, mereka yang bosnian sudah merasa adanya suasana mencekam, tetangga-tetangga serbia mereka mulai berpindah dari rumah mereka ke wilayah serbia secara diam-diam, dan ada juga yang dengan terang-terangan sambil mengingatkan kerabat bosnia mereka untuk segera mengungsi. perasaan tentang adanya pembantaian etnis mulai tercium, lalu semakin nyata dan pekat saja.
bagaimana si guide dari joe sacco menceritakan cerita-cerita orang yang jadi saksi mata kejadian-kejadian pembantaian. secara sadis bisa dituturkan juga oleh sacco, meski cukup seram dengan grafisnya yang sederhana. kita tetap bisa memahami cerita mencekamnya, dari awal hingga akhir.

Krisis Legitimasi (Jurgen Habermas)



Judul Buku: Krisis Legitimasi
Penerbit: Qalam, Yogyakarta, 2004
Tebal: x + 380 halaman

Dalam buku ini Habermas menegaskan bahwa analisis Marxis tradisional terhadap kecenderungan krisis dalam sistem kapitalis sudah kuno dengan relatif suksesnya kompromi negara kemakmuran (walfare state). Sebagai gantinya dia menegaskan bahwa krisis yang terjadi dalam ranah ekonomi akan beralih, melalui tindakan (kebijakan) negara, ke ranah budaya. Pada gilirannya krisis ini akan mengancam integrasi sosial, merusak berbagai resource yang dibutuhkan negara demi berlanjutnya pengelolaan sektor ekonomi yang sedang berjalan. Lebih khusus lagi, krisis itu kemungkinan besar akan mengakibatkan hilangnya legitimasi lembaga pemerintahan.

Meskipun tesis ini tidak sepenuhnya baru, namun analisis yang ditawarkan Habermas menjanjikan sebuah formulasi yang lebih akurat tentang mekanisme yang melahirkan efek samping yang tidak dikehendaki ini. Habermas bagaimanapun hanya memposisikan diskusinya dalam Legitimation Crisis sebagai serangkaian usulan programatis [Joseph Heath].

Habermas menyampaikan dalam penjelasan awal Krisis Legitimasi ini. Konsep krisis yang kerap digunakan dalam ilmu-ilmu sosial dewasa ini adalah konsep krisis yang berparadigma sistemik-teoretis. Menurut pendekatan paradigma ini, krisis muncul ketika suatu struktur sistem sosial hanya mampu membuka sedikit sekali kemungkinan pemecahan masalah daripada kepentingan untuk menjaga sistem itu tetap eksis. Berdasarkan pengertian ini, krisis lebih dipahami sebagai gangguan terus-menerus yang hendak menderai-beraikan kesatuan sistem [h.92].

Keberatan yang muncul terhadap konsep sosial-ilmiah semacam ini adalah bahwa is tidak bisa menunjukkan penyebab-penyebab internal yang berasal dari kelebihan-beban yang dirasakan secara "sistematik" yang melemahkan kemampuan dalam melakukan pengendalian atas suatu sistem. Keberatan yang lain adalah bahwa pendekatan semacam ini sering mengalami kebuntuan "struktural" dalam upaya pengendalian masalah dan gangguan yang dihadapinya.

Selanjutnya Habermas memberikan pandangan yang berbeda yang mampu menggiring gagasan untuk menyelesaikan masalah krisis sistematik semacam itu. Habermas memandang krisis yang terjadi dalam sistem-sistem sosial sejatinya bukanlah akibat dari perubahan-perubahan aksidental lingkungan, melainkan lebih merupakan akibat dari tuntutan-tuntutan objektif sistem (system-imperative) yang inheren secara struktural dan yang secara hierarkis tidak dapat didamaikan, apalagi disatukan. Inilah yang dikatakan kontradiksi-kontradiksi yang inheren secara struktural. Untuk dapat mengidentifikasinya harus ditentukan terlebih dulu struktur-struktur esensial mana saja yang dianggap penting bagi eksistensi dan kontinuitas sistem tersebut di masa depan. Setelah struktur-struktur esensial itu dapat ditentukan, maka semua struktur tersebut harus segera dipisahkan dari unsur-unsur lain dalam sistem tersebut. Sebab, jika tidak, sistem tersebut akan berubah, walaupun identitas sistem tidak akan hilang. Karena itu, salah satu kesulitan yang muncul adalah bagaimana menentukan dengan tegas batasan dan keunggulan dari sistem-sistem sosial ini dalam bahasa teori sistem, karena hanya bahasa teori sistem inilah yang dapat membangkitkan keraguan dasariah atas manfaat dari konsep tentang krisis sosial yang sistematik-teoritis.

Susunan isi buku ini adalah sebagai berikut:

[+] Konsep Sosial-Ilmiah Krisis
  • Sistem dan Dunia-Kehidupan
  • Unsur-unsur Pokok Sistem Sosial
  • Gambaran Prinsip Organisasi Sosial
  • Krisis Sistem dalam Kapitalis-Liberal
[+] Kecenderungan Krisis dalam Kapitalisme Lanjut
  • Deskripsi Model dalam Kapitalisme Lanjut
  • Beberapa Masalah Akibat Pertumbuhan Kapitalisme-Lanjut
  • Klasifikasi Kemungkinan Kecenderungan Krisis
  • Teorema Krisis Ekonomi
  • Teorema Krisis Rasionalitas
  • Teorema Krisis Legitimasi
  • Teorema Krisis Motovasi
  • Ikhtisar Singkat
[+] Logika Masalah Legitimasi
  • Konsep Legitimasi Max Weber
  • Hubungan Persoalan Praktis dengan Kebenaran
  • Model Penekanan Kepentingan Umum
  • Akhir Individual?
  • Kompleksitas dan Demokrasi
  • Keberpihakan pada Rasio

Ruang Publik (Jurgen Habermas)



Judul Buku: Ruang Publik
Penerbit: Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2010
Tebal Buku: xviii + 358 halaman

Buku "Ruang Publik" karya Jurgen Habermas ini merupakan kajian tentang kategori masyarakat borjuis, sesuai dengan subjudul di covernya.

[secara lebih detail baca pula ringkasan ulasan tentang Opini Publik-nya Habermas]

Habermas dalam buku ini menyelidiki akar sosiologis dan historis terbentuknya apa yang saat ini disebut dengan Offentlicheit atau ruang publik. Akar-akar tersebut dia lacak jauh sampai ke sejarah Prancis di penghukung Abad Tengah saat para bangsawan dan tuan tanah serta para satria sudah mengadakan pertemuan-pertemuan yang jadi cikal bakal bagi apa yang disebut ruang publik. Namun yang paling mengesankan dari kajian Habermas ini adlah bahwa ruang publik sesungguhnya terbentuk dari kedai-kedai minum di Eropa abad Pencerahan, karena di tempat-tempat seperti inilah para saudagar dan kelas menengah lainnya membicarakan persoalan bisnis mereka yang lambat laun berubah menjadi pembicaraan tentang masalah-masalah kemasyarakatan yang lebih luas. Di titik ini kita akan bertemau dengan apa yang dalam karya-karya Habermas belakangan disebut kepentingan. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mereka disebarluaskan melalui media cetak dengan cara-cara komunikasi yang belum ada sebelumnya. Anda dapat langsung menangkap bahwa gagasan dan teori Habermas tentang komunikasi sebenarnya berawal dari kajiannya tentang media massa dan pola komunikasi dalam rangka meneliti perubahan struktural ruang publik kelas borjuis di Eropa ini.

Ruang Publik yang diidealkan oleh Habermas kiranya adalah ruang dimana setiap masalah bisa dikomunikasikan tanpa kendala, bukan dimana segalanya boleh dilakukan begitu saja. komunikasi yang terbentuk adalah bentuk komunikasi demokratis, timbal-balik dan tiap-tiap pihak bisa menerimanya dengan baik tanpa dominasi.

Habermas dalam buku ini cukup telaten dalam memaparkan penjelasan tentang karakter masyarakat di ruang-ruang publik sejak masa pencerahan.

1984 (George Orwell)

...ini tentang 1984 [nineteen eighty-four]



"Newspeak, Doublethink, Big Brother, the Thought Police--George Orwell's Famous satire coined new and potent words of warning for us all.

In 1984 the world is divided into three parts, Oceania, Eastasia and Eurasia, all perpetually at war. In Oceania, the Party has created a totalitarian state that annihilates all opposition. In the forefront of the Party stands Big Brother, a figure of almost mythical power.

The story of Winston Smith's rebellion against the Party, of his hatred of Big Brother, and of the thoughtcrime which must result in his destruction was first published in 1949. Now in the eighties--our present and Orwell's brilliantly imagined future--his vision of brutalize and manipulated humanity is still gripping and still supremely relevant."

Itulah kutipan dari teks di cover luar-belakang dari novel 1984 karya George Orwell (nama asli: Eric Arthur Blair). Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1949, dan Orwell adalah lelaki kelahiran 1903 di India.

Tentang Orwell

Orwell adalah putra seorang Civil Service. Keluarganya pindah ke Inggris oada 1907 dan pada 1917 Orwell mulai masuk di Eton, di sanalah dia mulai bergabung dengan berbagai majalah kampus. Ia pergi pada tahun 1921 dan bergabung dengan Indian Imperial Police di Burma pada tahun berikutnya. Dia berhenti pada 1928 dengan kebenciannya pada imperialisme, sebagaimana ditunjukkan 'Burmese Days' (1934) novel pertamanya.

Setelah itu dia hidup beberapa tahun dalam kemiskinan, di masa-mas bersama gelandangan, pengalaman-pengalaman itu dituangkan dalam 'Down and Out in Paris and London (1933). Untuk sekali waktu dia bekerja sebagai guru sekolah tetapi karena lemahnya kesehatannya dia berhenti dari pekerjaan itu dan bekerja sebagai asisten paruh waktu di sebuah toko buku di Hampstead; kemudian dia mulai mampu memperoleh penghasilan dengan mereview novel-novel untuk New English Weekly, tempat yang ia pakai hingga 1940. Pada 1936 dia mengunjungi wilayah masyarakat yang tak memiliki pekerjaan di Lancashire dan Yorkshire dan 'The Road to Wigan Pier' (1937) adalah sebuah deskripsi yang kuat tentang kemiskinan yang ia lihat di sana. Pada akhir 1936 Orwell pergi ke Spanyol untuk berperang bagi Republican dan mengalami cedera;

1984 bercerita tentang
[sedang mengetik...]

Sunday, August 14, 2011

Install IDM dan Mengintegrasikannya Dengan Mozilla Firefox 5.0

[How to Install idm dan mengintegrasikannya dengan Mozilla Firefox 5.0]



-----------
IDM 6
http://zone-sharing.info/download/IDM-6.05-Full+Patch+Crack_ZONE-SHARING.INFO.rar
dari: [http://zone-sharing.info/2011/04/download-internet-download-manager-6-05-full-version-crack/]

dari link di atas, ekstrak content dengan zip-extractor (win-zip, 7zip, dll), dan jalankan aplikasi instalasi idm. setelah instalasi selesai, berikutnya ekstrak juga konten pada folder crack. berikut adalah langkah-langkah u melakukan crack pada idm 6.05:

[1] Disconnect dari Internet dan tutup/matikan IDM include yang ada di Tray Icon (biasanya pojok kanan bawah/samping jam, OS windows)
[2] Run/jalankan KEY PATCH IDM
[3] click "Clear Previous registration data""
[4] Click "Patch Server Check" -> Search File "IDMan.exe" pada directory Installation IDM
biasanya direktori ada pada C:\Program Files\Internet Download Manager (tergantung anda meletakkannya di mana, saat instalasi
[5] Lalu, jalankan IDM - jika ada Dialog yang meminta untuk "registrasi online", pilih "NO"
[6] Click REGISTRATION - registrasi (pada list menu aplikasi IDM, atas)
[7] Isi Form registrasi sbb:
First Name : you (bebas)
Last Name : me (bebas)
Email : you@me.com (bebas)
Serial : Copy Serial dari KEY PATCH IDM.exe
[8] Finish

Lakukan hal ini lagi jika anda memerlukan Fake Serial Number untuk IDM, jika tanpa sengaja Anda mengupdate versi idm secara online.
Tetapi, ingat, jangan pernah mengupdate idm anda jika anda melakukan instalasi menggunakan patch ini.

------tahap konfigurasi FF 5--------

Download link berikut:
http://downloads.ziddu.com/downloadfile/15439607/idmmzcc731www.trigonalworld.com.zip.html
------------
[+] Ekstrak file yang sudah didownload di atas. (file yang sudah diekstrak: idmmzcc 731 [www.trigonalworld.com].xpi)
[+] Buka Firefox 5.
[+] Tekan Ctrl+O.
[+] Akan muncul kotak dialog, pilih file yang sudah diekstrak tadi.
[+] Tekan 'Enter' atau 'Open'.
[+] Selesai, IDM siap digunakan.
-----------
Apabila IDM masih belum bisa digunakan kemungkinan add-on harus diaktifkan secara manual, berikut ini steps-nya:
>> buka Add-ons Manager dan cari IDM CC 7.3.1,
>> klik enable disamping add-on itu,
>> akan muncul dialog untuk merestart Firefox 5 anda,
>> restart firefox Anda,
>> IDM ready to rock!
----------

Friday, August 5, 2011

Berpikir tentang korupsi+politik+ekonomi Indonesia

Menyisakan sedikit waktu untuk memikirkan korupsi di Indonesia



Pertama, setidaknya janganlah menyampaikan ungkapan yang kadang disampaikan beberapa orang, "korupsi sebagai budaya bangsa Indonesia". pengertian ini sangat bertentangan atau merendahkan citra kebangsaan, dan makna 'budaya', karena budaya adalah karsa dan rasa yang terwujud dalam tindakan nyata yang tidak lepas dari nilai-nilai luhur sosial di dalamnya.
Kedua, bagaimanapun kekuasaan dan kecenderungan korupsi adalah hal yang perlu selalu diwaspadai. terlebih di indonesia ini, pasca suharto yang dipupuk semenjak era suharto. karakter kekuasaan yang diciptakan pada masanya memang menjadikannya dikelilingi oleh para penguasa-penguasa kecil di bawah posisi suharto.
Ketiga, sekali lagi saya searah dengan pak Winters soal pendapatnya tentang jejak oligarchy di indonesia yang berharap lahir di masa sukarno, subur di masa suharto, dan kemudian sporadis ke mana-mana di masa pasca suharto.
oligarchy sekali lagi adalah model yang sebenarnya khas dengan demokrasi modern, atau otoritanisme demokrasi khas era kekuasaan partai-partai yang mengenal koalisi dalam berbagi peran puncak.
oligarchy, menemukan energinya di era suharto, secara nasional kita dikontrol oleh kekuasaan dan kini uanglah yang membeli setiap hak utama tiap unsur publik. kita dikendalikan oleh segelintir penguasa ekonomi. dan kita dikurangi haknya untuk menikmati kesejahteraan, dikurangilah keutamaan kita sebagai warga negara.
Keempat, para anak-anak didik suharto yang tersebar di segala sektor kini, hampir tidak bisa dihitung, bahwa setiap mereka memliki kekuasaan juga di sektor-sektor ekstraksi atau penambangan. kita bisa lihat bahwa era sang guru yang mempopulerkan industri manufaktur, dahulu, memberikan kelas buruh yang besar. industrialisasi, kota sebagai konsep kesejahteraan.
kini pertambangan yang mereka kuasa dengan ijin eksplorasi dan penggalian yang gila-gilaan, menciptakan konsep uang instant, lebih cepat daripada konsep uang yang didapatkan buruh pada masa manufaktur. pertambangan adalah sisi lain neoliberalisme yang menggerogoti perikehidupan kita. bagaimana tidak? kontrol negara terhadap UU Agraria sengaja dilepas kepada industri yang jelas-jelas dilarang memiliki/membeli tanah dari rakyat, dan mereka disilahkan berproduksi dan merusak ekologi secara dahsyat. percayalah, bukti sudah banyak.
kini harapan rakyat pada hukum adalah pada sisi perlindungan lingkungan hidup, toh tidak satupun korporasi yang pernah bisa diseret ke meja hijau. upaya penegak hukum dalam mempersonalisasikan industri di meja hukum gagal. dan kebutuhan pokok ttg air udara dan tanah tidak terpenuhi, cemar. sedangkan angka kesejahteraan tiap kota diukur dengan ukuran khas bank dunia, yaitu: kesehatan, pendidikan, dan kemampuan membeli(daya beli). unsur perhatian lingkungan oleh pemerintah? non ya business!
kelima, kita wajib menyadari sisi desentralisasi yang ada selepas 99', menciptakan keinginan daerah mengejar pendapat daerahnya, dan para pejabat negeri mengejar kekayaan, orang terpacu bahwa hanya dengan menjadi pns mereka akan sejahtera, ini pengkerdilan di negeri yang kaya. dan imbasnya, we have a fat beurocracy, dont we?
intinya memang goodwill dari pemimpin, tetapi sekali lagi, akar dan rengkuhan oligarchy yang sudah ada sejak lama justru menjerat setiap orang yang ada di posisi puncak, macet ide dan jelas tidak cerdas. dan sekali lagi, alhamdulillah, oligarchy yang carut-marut ini membentuk kekuasaan sektor-sektor publik yang terprivatisasi secara majemuk menciptakan represi politik secara tajam di setiap sisi. dan akhirnya, setiap politisi justru saling menelanjangi kesalahannya sendiri-sendiri.
inilah, korup yang mengakar pilihannya dua, dima'fu (oleh Gusti Allah), atau disapu. :D
intinya, ruang-ruang publik untuk dapat berkomunikasi antara satu sama lain, dalam tiap level, perlu diciptakan. yaitu ruang-ruang yang deliberatif. tiap-tiap pihak menundukkan egonya, sehingga satu sama lain bisa saling mengkoreksi dan memberikan jalan keluar, tindakan komunikatif adalah pilihan tepat dengan semangat pencerahan, dalam beban modernisme. untuk menjadi oposisi bagi ciri khas demokrasi modern yang oligarkhis. [12:21 wib, rabu/3/8/11, ide kebutan]

Thursday, August 4, 2011

Internet and Chaos

Embedded in the mud, glistening green and gold and black,
was a butterfly, very beautiful and very dead.
It fell to the floor, an exquisite thing, a small thing
that could upset balances and knock down a line of
small dominoes and then big dominoes and then
gigantic dominoes, all down the years across Time.
Ray Bradbury (1952)

my first assumption about chaos is
[still thinking and typing offline...]

Tuesday, August 2, 2011

ada apa dengan UU ITE?

Undang-undang ITE, siapa yang belum pernah membacanya?

Kenapa tidak dibaca? Bukankan ini mengatur hajat hidup orang banyak yang kini mulai tak terpisahkan dari dunia maya. Sebenarnya belum sepenuhnya, tetapi setidaknya kita tengah bergerak ke sana, masyarakat digital sudah terbentuk.

Berbagai padanan dan gambaran tentang kehidupan maya dengan nyata sudah mulai banyak digunakan dalam keseharian, generasi sudah mulai memperbarui sistem lama ke dalam sistem baru yang lebih ‘ngirit’ dalam banyak faktor, pekerjaan, penghasilan, waktu, tenaga, biaya dan lain sebagainya. Hampir semua yang kompleks dalam dunia realitas, kini menjadi ringkas dalam dunia digital.

Kemudian, untuk merespon dan berusaha mengatur kehidupan di dunia maya, pemerintah pun melakukan serangkaian tindakan. Termasuk di dalamnya untuk mencegah kejahatan di dunia maya. Lalu pikiran pertama yang sering mencuat adalah: “apakah mampu kita mengatur kehidupan dunia cyber?”

Perkembangan kajian tentang cyberlaw di Indonesia dan perkembangan kemampuan alat hukumnya selama ini tidak ada yang signifikan, untuk capable menangani kejahatan cyber yang semakin mewabah di negeri ini.

Tujuan dari pembentukan sebuah Undang-undang semestinya terarah dan pasti, baik dalam muatan definitif tentang semua yang terpaut di dalamnya, maupun muatan hukum secara umum di dalamnya. Sebagai sebuah senjata dalam menegakkan hukum, UU ini semestinya memberikan rasa aman dan tenteram, dengan kata lain tidak mengusik ketertiban umum yang diupayakan.

Jika pada akhirnya, karena definisi dan penjelasan yang tidak terarah secara tepat, hal tersebut menjadikan UU ini menyemburkan peluru secara membabi buta. Itulah padanan yang mesti disoroti untuk kata ‘fokus’ dan ‘terarah’.

Politik hukum yang dimuatnya pun mesti transparan, berkaca kepada bagaimana negara yang lebih maju dalam sistem, semestinya tiap rumusan pasal-pasalnya memiliki dokumen yang tercatat secara baku, dan bukan hanya berupa UU proyek, kejar setoran, istilah yang sudah digunakan secara lazim oleh segenap masyarakat untuk menilai banyaknya UU yang bermunculan setiap akan ganti masa pemerintahan. Yang jelas, membuat Undang-undang boleh saja, asalkan rumusan benar dan tidak berbenturan dengan UU yang sudah ada sebelumnya.

Lalu bagaimana sebenarnya perjalanan UU ITE ini berlanjut?

Pasal-pasal yang ‘mempan’ seringkali melulu pasal pencemaran nama baik yang batasannya sendiri masih kurang jelas. (rupanya budaya pemimpin negeri adalah melemparkan isu dan kata-kata tanpa tanggungjawab). Mereka terbiasa menyebar isu tentang akan diregulasinya sesuatu, jika mereka mengerti bahwa ini sensitif, maka ada istilah uji publik, tetapi isinya masih belum selesai. Pembentuk Undang-undang dan pemerintah lebih suka membuat masyarakat resah terlebih dahulu. Kemudian apakah akan berjalan atau tidak, tergantung bargaining politiknya, karena memang politik tidak bisa berjalan tanpa uang. Maka ada lagi rapat-rapat, keputusan akhirnya, tergantung uang terbanyak bergulir ke mana…

Ada kabar, kini di BPHN tengah dirumuskan Rancangan Undang-undang cyber crime kita yang baru, yang diperkirakan akan lebih compatible. Mungkin UU ITE kemudian dipandang sebagai UUD-nya cyber law lain yang akan muncul belakangan. Dan tentunya, dengan banyak kejanggalan dalam efektifitasnya, UU ITE masih butuh banyak revisi.

UU ITE seperti vista yang terlalu berat diterapkan (karena bingung, loadingnya pasti juga lambat untuk meresponnya, terutama para penegak hukum). Tetapi untuk menjadi lebih aware terhadap kejahatan dunia cyber, kita mesti mempersiapkan kekuatan tenaga hukum sebaik mungkin.

Saya ingat, pernah nonton tayangan berita tentang latihan penjinakan bom oleh tim gegana mabes polri, ceritanya mereka mendapat bantuan peralatan bagus dan baru dari luar negeri (jelas karena selalu mem-blow up berita tentang akan adanya bom di sana-sini, dan dengan dalih tidak mampu menghadapi terorisme kekurangan alat dan dana dalam menanggulangi), maka bantuan untuk memberantas terorisme di negeri ini pun diuji dan dicoba. Ada alat yang berfungsi sebagai penerawang adanya konten bomb dalam kemasan atau benda yang dicurigai, dengan  konsep: satu sisi blok adalah pemancar x-ray dan satu sisi blok lainnya adalah penerima informasi pemidaian tadi, yang semestinya direcord dalam selembar negatif film. Alhasil, penggunaan alat telah selesai tetapi saat semua ingin menyaksikan record dalam negatif film yang dimaksud, semuanya mesti menelan kekecewaan masing-masing. Karena ternyata negatif filmnya lupa dipasang (ada-ada aja).

Jangankan dengan respon kejahatan yang sedemikian bisa terlihat (bom memang bukan hal sederhana, selain mematikan juga rumit, tetap saja real), bagaimana kalau menghadapi kejahatan yang mayantara, tidak terbatas waktu dan ruang. Jika kemampuan dan tingkat pendidikan kepolisian, sebagai garda depan penegakan hukum, tidak segera ditingkatkan, maka sangat dapat diragukan kehandalannya untuk menghadapi kejahatan cyber yang bentuknya terus berkembang dan bahkan berkembang seiring perkembangan waktu. Bisa dikatakan ini adalah bentuk perkembangan kejahatan yang massive dan belum ada fenomena yang melebihi kecepatan internet dalam memicu munculnya kejahatan.

Bukan soal pendidikan mereka setingkat sekolah menengah ataukah setingkat sarjana, atau lebih tinggi lagi. Yang jelas adalah pendidikan dan kemampuan dalam mencegah, menangkap, dan mengumpulkan bukti kejahatan cyber. Toh musuh mereka (pelaku kejahatan cyber) tidak melulu berpendidikan tinggi, karena kenyataannya kita bisa belajar bertindak jahat dari buku-buku digital yang tersebar bebas di internet, dan juga maraknya buku-buku hacking di toko buku.

Beberapa saat lalu saya sempat berdiskusi dengan seorang mantan team IBM Indonesia. Saat dulu masih berada dalam satu kesatuan bersama AD, AU, dan AL, kekuatan Kepolisian untuk menghadapi kondisi sekarang ini mungkin masih bisa tertangani lebih efektif. Tetapi kenyataannya jika dibandingkan dahulu, sepertinya kelengkapan dan kemampuan Kepolisian dalam menangani kejahatan telematika kian surut.

Dari pengalaman beliau selama di IPTN (sebelum di IBM), pelatihan yang diadakan IPTN tentang kemampuan teknis tentang IT yang diikuti jajaran dari berbagai angkatan, dari AU dan AL lah yang memiliki tanggap teknologi lebih baik daripada yang lain. Karena memang mereka dididik lebih jauh tentang IT, maklum peluru kendali dan pesawat-pesawat tempur bukanlah hal baru dalam pemahaman mereka tentang teknologi. Pendidikan khusus ini yang semestinya juga ditumbuhkembangkan di jajaran Kepolisian kita. Pengetahuan untuk tanggap terhadap penanggulangan kejahatan ITE.

Maka secara singkat, para pelaku kejahatan dunia maya akan tetep adem-adem saja selama mereka tidak efektif dan efisien dalam dunia maya.

Yang kita lihat saat ini adalah betapa lemahnya sistem hukum cyber kita, dari alat hukumnya (polisi, jaksa, pengadilan) untuk menangani kejahatan yang sudah dan tengah berjalan. Jadi jika perangkat hukum yang ada masih lemah, untuk apa buat undang-undang baru, lah yang UU ITE saja masih belepotan.

Politik hukum semestinya bukan hukum yang dipolitisir untuk kepentingan sepihak atau sesaat. Lantas apa gunanya pertemuan-pertemuan pembentukan UU kalau hasilnya tidak ada […]. Dan seluruh masyarakatpun akan segera menghela nafas panjang dahulu, jika ada UU cyber crime yang baru, dan pikiran pertama adalah: “sanggup apa tidak menjalankannya?”

Saya sedang memikirkan: Bagaimana jika di masa upgrading dan transisi (menuju kesiapan hukum era digital) ini kita memanfaatkan tenaga para white hat hacker baik tersertifikasi atau tidak, untuk secara integral ada dalam lembaga kepolisian? Kemudian diberikan layanan 911 cyber untuk siapa saja yang mengalami tindak kejahatan (menjadi korban atau menyaksikan terjadinya tindak kejahatan).

Harapan apa pun tidak akan pernah akan terjawab jika tidak ada goodwill dari pemerintah untuk membawa negara ini ke dalam ketertiban. Kita akan khawatir kemudian jika peringkat negara terkorup akan menurun pada predikat negara terlemah dalam menanggulangi kejahatan cyber. Maka tidak ada kata lain bagi mereka yang ada di luar sana: “kenapa tidak kita serang saja Indonesia? Perlindungan mereka lemah.” Atau sekali lagi jadi tong sampah tindak kejahatan cyber, sebagaimana yang sudah melekat, tong sampah kejahatan hak cipta.

Apa pun upaya penegakan hukum, kita harus mendukungnya. Selama itu tidak mengganggu hak-hak dasar kita sebagai manusia utuh dan warga negara Indonesia secara khusus.

UBI SOCIETAS, IBI IUS.

Pentingnya Social Research Cyberlaw

Penelitian sosial terhadap dunia maya adalah hal yang patut dipertimbangkan untuk mendukung perkembangan hukum cyber(mayantara) Indonesia.

Kita bisa pergi ke toko buku, atau ke perpustakaan, atau ke penjual buku-buku bekas. Dari sana marilah kita mencoba mencari buku-buku tentang kajian hukum cyber karya anak bangsa, bukan terjemahan. Setelah semua kemungkinan terjelajahi untuk mendata sekian banyak daftar buku tentang cyberlaw yang dapat ditemukan secara eksplisit dalam konten buku-buku tersebut adalah: semuanya hanya berupa penulisan dengan memuat berbagai definisi. Definisi hacker, cracker, carder, spammer, atau definisi tentang hal-hal bersifat teknis, seperti hacking, stealing access, foot printing, dan lain sebagainya. Dan semua definisi itu adalah definisi yang diambil dari sumber lain. Begitulah kira-kira isi buku-buku kajian hukum cyber kita. Baik itu berangkat dari kajian hukum independen, dari pemerintah, berupa tulisan pribadi, maupun karya ilmiah. Hampir semuanya masih menyandarkan definisi-definisi yang terkadang buta. Misalkan tentang mempersepsi arti "hacker", ada beberapa buku dari beberapa guru besar hukum kita yang mengasumsikannya sebagai pelaku kejahatan dunia maya. Mereka tidak mendalami strata sosial dalam dunia maya, mereka tidak merasakan secara langsung bagaimana dunia maya itu berbentuk dan berkembang sampai saat ini dan kelak.

Jika para sarjana-sarjana hukum dan ilmu sosial lainnya tidak berusaha turut serta membangun pondasi hukum publik dan privat yang kuat dalam tataran dunia maya, maka akan selamanya kita meminjam definisi orang lain dan definisi yang seringkali usang. Maka dari sinilah titik tolak dimulainya kesadaran tentang urgensi pembangunan akar hukum cyber yang baik dan benar, sesuai eyd.

Disadari atau perlu dipaksa untuk menyadari, dunia maya dan dunia nyata sungguh berbeda. Konon di dunia nyata kita mencuri dan melakukan tindakan mengambil milik orang lain, dengan sengaja, dan maksud untuk memilikinya harus terlihat secara adegan fisik baik itu oleh pelaku utama atau memakai perantara, dengan kata lain langsung atau tak langsung, tetapi intinya tetap sama, "mengambil" ya kalo di kamus oxford diterjemahkan jadi: carry something or caused subject to go from one place to another. Definisi ini sudah kadaluarsa. Karena kini mencuri tidak selalu berarti mengambil dan menjadikan orang lain kehilangan, atau bahkan kalaupun kehilangan juga tidak lagi benda-benda yang melulu teraba dan berdimensi ruang. Mencuri kemudian bisa berarti menduplikasi dengan maksud mengambil secara tidak layak, yang dalam regulasi kadang diikuti dengan kata-kata 'merusak', atau 'menjadikan tidak dapat diakses', dan lain sebagainya.

Jika semua definisi tentang tindakan berubah, apakah selamanya akan memaksakan pemakaian konotasi lama tentang tindakan. Jika semua definisi lama yang butuh pembuktian kaku--misalkan soal rekonstruksi kejadian. jelas rumit untuk suatu tindak pidana cyber--, maka penegakan hukum juga akan menemui banyak celah yang sulit ditutup, bahkan bisa jadi hukum dan alat-alat penegakan hukumnya hanya akan melongo saat ada kejahatan baru, lantas mereka berkata, "ini kejahatan macam apa ya?"

Jika semua cara kejahatan berubah, saatnya melakukan perubahan secara radikal. Dan satu caranya adalah mulai lagi dari hal yang alami, natural dalam alam maya, sosiologis. Sosiolegal dalam hukum cyber masih kurang diminati untuk dijelajahi dan dieksplore. Salah satu faktornya adalah masih kurangnya pengetahuan dan kurangnya kapabilitas para calon peneliti untuk menyelami wilayah ini. Keraguan bisa jadi memunculkan semacam phobia untuk mengeksplore lebih jauh.

Secara sosial tidak semua aktifis cyber adalah orang-orang yang bisa dikonotasikan sebagai orang-orang yang mengalienasi terhadap dunia luar, mati rasa terhadap lingkungan sosial nyata dan sebagainya, seperti dituturkan beberapa literatur. Kenyataan di lapangan adalah, para aktifis maya ini, dengan mengamati perkembangannya adalah juga mereka yang sebagian besar berbagi (sharing) pengetahuan dan senantiasa bersosialisasi. Bahkan sebagian juga memiliki filosofi hidup sosial yang tinggi, karena tindakan dan sikap mereka di dunia maya bukan kegiatan sederhana, melainkan memerlukan kemampuan lebih. Dengan kata lain sebagian besar aktifisnya adalah mereka yang terpelajar.

Singkat kata singkat cerita. Penelitian sosiologis terhadap lingkungan dunia maya akan memberikan pemahaman dan ikatan hukum lebih baik, semakin banyaknya kajian sosiologis yang updateable maka intensitas keakuratan data akan selalu terjaga. Dan ini akan memberikan kesegaran jasmani dan rohani bagi hukum kita.

Dan semestinya para aktifis dunia maya juga tau, bahwa dengan hukum yang kuat, maka seluruh rakyat Indonesia akan semakin terlindungi hak-haknya, dan kesejahteraan  bersurfing akan lebih aman, nyaman, dan tenteram. Kita juga tau, saat bapak-ibu pejabat negara kita berbicara tidak nyambung tentang nasionalisme, di dunia maya nasionalisme dijalankan dengan lebih langsung, tidak terlalu bertele-tele.

Kejahatan Cyber dan Masyarakat [2]

The threat from hacking, be it real or imagined, has incited a range of legislative and criminal justice responses that have driven an ongoing ‘crackdown’ on activities of computer intrusion and manipulation.
The expansion of Internet-related crimes has generated a range of legislative and legal responses, many of which seek to adapt existing laws to the novel environment of cyberspace. Particularly significant challenges are presented by the inherently transnational nature of Internet interactions. Consequently, legal innovations at the national level, while considered essential, have of necessity been complemented by both a burgeoning number of international agreements, as well as ‘informal’ regimes of governance and regulation implemented by a range of non-governmental actors. Below we will focus on the more specific question of legal innovations in response to the perceived threat of hacking and computer intrusion.
It would appear that, in the ‘early years’ of computer crime, there was a tendency to rely upon existing legislation covering offences of trespass, theft and fraud to tackle hacking and related offences. However, a number of landmark cases proved that these innovative computer crimes could ‘slip through the net’ of existing legislation, resulting in failure to successfully prosecute offenders. _Majid Yar

Membaca Majid Yar, tentang Hacking and the Law: Legislative Innovation and Respons. Ia menjelaskan bahwa tantangan dari hacking, nyata atau tidak, telah memaksa munculnya respon legalisasi dan keadilan dalam hukum pidana serta kriminalitas yang sebenarnya telah beranjak runtuh menghadapi berbagai sengkarut tindakan-tindakan pengacauan komputer dan penipuan di dalamnya.

Ekspansi dari kejahatan internet telah membangkitkan respon para penegak hukum dan legislatif, beberapa berusaha mencari cara untuk menyesuaikan hukum yang telah ada ke arah lingkup baru dari cyberspace. Beberapa tantangan signifikan berasal dari adanya ciri transnasional dari interaksi internet, dengan konsekuensi, pembaruan hukum pada tingkat nasional, secara esensial, memiliki peran pelengkap menghadapi berkembangnya berbagai kesepakatan internasional, sebagaimana rezim ‘informal’ dari pemerintah dan aturan yang diterapkan oleh pihak-pihak tertentu non-pemerintah. Berikut kita akan memfokuskan pada pertanyaan yang lebih spesifik dari perkembangan hukum dalam merespon dari adanya tantangan yang dirasa berasal dari hacking dan pengacauan komputer.

Bisa jadi, dalam ‘tahun-tahun awal’ dari kejahatan komputer, ada kecenderungan untuk menyandarkan legislasi yang ada dalam mengatasi pelanggaran, pencurian dan penipuan untuk computer-hacking dan pelanggaran-pelanggaran lainnya yang terkait.

Bagaimanapun, dari sejumlah kasus-kasus utama terbukti bahwa kemajuan kejahatan komputer ini bisa ‘terselip dalam jaring’ legislasi yang sudah ada, hal ini memberikan gambaran kegagalan dalam upaya penuntutan kejahatan cyberspace. Dengan kata lain, pencarian celah hukum dan meng-exploitnya secara sukses adalah langkah biasa dalam seni hacking, seni mencari celah. Saat hukum mulai beranjak beberapa tahun setelah eksistensi kejahatan cyber, maka itu sangat terlambat, tetapi tidak ada kata terlambat untuk berani menanamkan landasan filosofis hukumnya secara lebih teguh, untuk membangun tubuh hukum yang tegap.

Hukum Penalaran dan Ilmu Hukum

  Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut ultricies efficitur nunc id accumsan. Aliquam quis facilisis felis. Integer...